Kamis, 07 Desember 2017

Tanjobi

Pada hari ulang tahun saya, 10 September 2018, saya merayakannya di Inggris. Saya dan suami saya sama2 sudah kuliah S-3 dan sedang asyik menulis penelitian kami masing2. Sore, hampir senja, sepulang dari Perpus kampus, suami saya menjemput saya dan memberikan saya sebuket bunga mawar merah yang isinya banyak, banyak sekali. Saya suka bunga Mawar. Dulu ketika saya baru lahir, Bapak saya menanam Bunga Mawar di halaman samping Rumah Joglo Nenek. Waktu saya kecil, Nenek cerita, katanya karena punya anak perempuan, Bapak menanam Bunga Mawar, supaya anaknya indah dan cantik. Selain indah, Bunga Mawar juga berduri. Dia bisa sangat independen dan melindungi diri dari hal-hal yang tidak mengenakkan. Saya sangat bahagia mendapat sebuket besar Mawar dari suami.

Kemudian kami berjalan-jalan sebentar di kota London. Kami menaiki London Eye sambil melihat penjuru kota dari ketinggian. Kami lalu makan malam bersama di sebuah restoran yang kecil tapi menyenangkan. Makanannya enak. Kami kemudian pulang ke apartemen kami, berjalan kaki sambil bergandengan tangan.

Jumat, 06 Oktober 2017

Motivation of Movement


Paragraf2 awal dari postingan asli saya hapus karena berbagai pertimbangan.

....  juga tentang rational choice. Pandangan ini memiliki kelemahan yaitu bahwa manusia memiliki keterbatasan rasional. Manusia memiliki keterbatasan kemampuan untuk memproses informasi untuk menentukan apa yang benar-benar dia butuhkan. Saya merasa terbatas sekali. 

Saya kemudian teringat perbincangan saya dengan tante saya di rumah joglo nenek beberapa tahun lalu. Perbincangan itu pun saya tulis dalam salah satu postingan blog ini.  Perbincangan tentang tujuan hidup. Pas banget dulu saya baru menonton film Frankenstein, manusia buatan yang tidak tau tujuan hidupnya. Waktu itu tujuan hidup saya hanya satu, yaitu karir impian. Tante saya yang sangat bertaqwa mengatakan bahwa tujuan hidup manusia cuma satu. "Wah, pas banget seperti saya," pikir saya. Tante saya melanjutkan bahwa tujuan hidup yang satu tadi adalah: Mencari ridho Allah. Apapun yang kita lakukan, bila tidak mendapat ridho Allah, hidup kita pasti tidak tenteram.

Mungkin saya merasa bingung, sedih, menangis, karena saya belakangan bertindak bertentangan dengan mencari ridho Allah. Akhirnya saya menyimpulkan, kebutuhan dlm rational choice tadi adalah kebutuhan akan ridho Allah. Tentang ke depan, bagaimana saya bertindak bersama dengan orang terdekat dalam hidup saya, saya dasarkan atas mencari ridho Allah. Kemudian saya tidak bingung lagi.

Saya membasuh muka dan mata saya yang sembab. Saya minum air putih untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang akibat menangis. Saya menyalakan laptop, menulis ini, saya akan pergi tidur, karena besok saya memiliki pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya harus profesional dalam menjalani hidup.

Kamis, 05 Oktober 2017

Detik itu Juga

Saya punya kebiasaan menunda pekerjaan. Tak jarang dengan kebiasaan ini saya memiliki hutang pekerjaan yang menumpuk. Kadang saya bingung sendiri mau menyelesaikan yang mana dulu. Padahal menurut penilaian saya sendiri, entah saya ke-PD-an atau tidak, bila saya mau, saya bisa mengerjakan segala pekerjaan dengan sempurna. Hanya saja, saya menunda-nunda, sehingga berbagai pekerjaantadi tidak maksimal.

Hal tersebut ditambah dengan masuknya saya ke dunia sosial media. Dulu saya merupakan pengguna sosial media yang aktif, bahkan hiper aktif. Dampak dari kegiatan tersebut bagi saya adalah, pertama, saya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengelola sosial media. Saya jadi melewatkan banyak hal yang harusnya bisa saya selesaikan dengan waktu yang saya habiskan untuk bermain sosmed. Kedua, saya jadi sedikit fake. Fake di sini dalam artian pertama, saya membagus-baguskan kejadian yang saya alami. Hal ini terlebih ketika saya aktif menggunakan Instagram. Hal-hal biasa yang saya alami selalu saya bagus-baguskan dengan caption yang lebih bagus dari kenyataan dan mempostingnya sebagai foto di IG. Artian fake kedua adalah, saya lebih mengelola kehidupan saya di sosmed daripada kenyataan. Misal saya berteu teman lama atau kerabat jauh. Yang pertama saya pikirkan adalah berfoto bersama dan memikirkan caption untuk foto tersebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai agenda, saya lebih mementingkan publikasi di sosmed ketimbang penyelenggaraan agenda yang sebenarnya. Yang ingin saya capai adalah komentar dan rasa kagum dari teman-teman sosmed saya. Artian fake ketiga adalah bahwa saya berusaha sekuat tenaga untuk tampil oke di sosmed, dalam hal ini foto IG yang bisa dikoneksikan di sosmed lain. Setiap acara tertentu atau mau ketemuan dengan orang, saya selalu berusaha membeli baju baru. Saya merasa malu bila baju itu-itu saja yang muncul di sosmed saya. Dengan demikian, saya memalsukan kebutuhan baju-baju saya, yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Dampak ketiga penggunaan sosmed yang berlebihan adalah citra yang salah. Memang dengan pencitraan saya di sosmed ada yang tertipu menganggap saya cetar membahana. Namun demikian, ada juga yang salah mengartikan saya terlalu kekanakan dan terlalu alay, sehingga yang bersangkutan tidak percaya saya bisa lulus psikotest untuk pekerjaan yang membutuhkan kedewasaan dan kematangan, pun dia tidak percaya saya satu-satunya yang lulus tanpa syarat dengan nilai bagus di berbagai tes lainnya. Saya ingat waktu remaja pernah nge-fans kakak kelas waktu SMP. Namun demikian, setelah berteman di fb, saya jadi ill feel sama dia. Mungkin saja sosmed bisa membuat orang salah mencitrakan diri sendiri atau membuka kepribadian orang tersebut yang sebenarnya sehingga membuat orang lain jadi ill feel. Atas alasan tersebut, saya memutuskan melepaskan seluruh sosmed saya kecuali twitter. Saya berjanji tidak akan membuka sosmed saya selama dua tahun ke depan. Setelah dua tahun, apabila saya berpikir saya tidak perlu sosmed, saya akan melanjutkan melepaskan sosmed saya.

Terkait menunda pekerjaan ini, saya sedang keteteran dikejar hutang beberapa pekerjaan. Bahkan saya sampai malu kalau ketemu mitra kerja saya karena saya belum sempat menyelesaikan pekerjaan dengannya, sebab saya sedang sibuk mengurus pekerajaan lain dengan deadline lebih dulu. Harusnya, bila saya bisa mengelola waktu dengan baik, saya tidak menghadapi situasi seperti ini.

Seseorang yang saya temui di kantor saya yang lama

Saya bertemu dia di kantor saya yang lama ketika teman kerja saya merekomendasikan dia untuk menjadi moderator dalam konferensi yang kami programkan. Iya, dia adalah tunangan saya yang sebentar lagi menjadi suami saya. Dari pertama dengar namanya, citranya sudah baik. Kata teman saya, dia pintar Bahasa Inggris dan pintar dalam akademis. Pun kata salah satu dosen saya ketika kami rapat, dia sudah akan lulus dalam waktu kuliah kurang dari satu tahun. Tentu saja tidak mungkin dicapai bila menunda pekerjaan seperti saya ini.

Berhubung sudah tunangan, saya mulai tau kehidupan orang hits ini. Yang saya tangkap, pertama, dia adalah orang yang rapi untuk ukuran cowok. Saya heran juga, padahal waktu S1, dia gondrong, bagaimana orang gondrong macam dia bisa rapi. Teman-teman saya yang cowok di teater dulu pada gondrong dan segala-galanya tidak rapi, malah acak adul. Kerapian ini pertama saya lihat dari aplop kiriman pos yang dia kirimkan pada saya. Alih-alih menulis dengan tanngan, dengan niat dia ketik alamat dan pengirim di amplop. Kerapian selanjutnya, saya lihat dari penataan baju di rumahnya yang sangat rapi. Baju-baju kerja diatur dengan sangat rapi. Lha saya, sudah baju dilaundry, tinggal nata saja saya males. Lemari saya acak-acakan. Kadang saya lupa punya baju tertentu karena sudah tertimbun di tumpukan paling bawah dari baju-baju yang tidak teratur.

Hal yang saya tangkap selanjutnya adalah dia Gercep alias gerak cepat. Bila punya tanggungan detik ini, dia mulai menyelesaikan detik ini juga. Pasti itulah kenapa dia bisa lulus kurang dari satu tahun dan memiliki banyak karya. Detik ini selesaikan ini, nanti segera kerjakan hal baru. Nah saya, saya iyain aja kerjaan yang datang, nanti dikerkain besok. Belakangan orang rumah ngirim undangan buat tamu-tamunya dia, tapi ternyata banyak penulisan gelar yang salah. Dia terima kardus undangan itu sore. Dia tanya ke saya template untuk tempelan dan bagaimana membuat nama di tempelan. Saya kirim templatenya seusai Magrib. Masa sekitar jam setengah 8 dia sudah kirim foto ke saya tempelan yang baru yang sudah diprint nama. Itu berarti dia sudah download file dari saya, menamai, ganti font, keluar beli kertas tempelan, dan ngeprint. Kalau saya dalam kondisi itu, sudah pasti besoknya aja saya kerjakan. Sudah capek pulang kantor. Tadi saya tanya lagi apa nempelinnya sudah selesai, dia bilang sudah. Berarti dia sudah nempelin seratusan lebih undangan, masukin plastik, dan mungkin juga sudah mendistribusikannya, karena saat ini dia sudah fokus revisi jurnal. Berarti dia sudah menyelesaikan pekerjaan sebelumnya untuk ganti menyelesaikan pekerjaan selanjutnya.

Saya berterimakasih pada Tuhan bahwa saya dijodohkan dengannya. Pertama, dia adalah orang yang sangat dewasa. Dia bisa mengayomi dan menyayangi saya dengan cara yang sangat dewasa. Kedua, seperti Tambangraras yang hanya mau menikah dengan laki-laki yang lebih pintar darinya, masnya jauh-jauh lebih pintar dari saya. Saya banyak mendapatkan ilmu terkait bidang saya dalam obrolan kami selama ini. Ketiga, dia bisa menjadi contoh yang baik. Dengan melihat berbagai karakteristik baik darinya, saya mengikuti hal-hal baik tersebut dan segera meninggalkan sikap tidak baik saya. Dengan demikian, saya memutuskan untuk menghilangkan kebiasaan menunda pekerjaan dan mengerjakan detik itu juga ketika tanggungan yang datang pada saya.

Malang, 5 Oktober 2017

Sabtu, 19 Agustus 2017

Nafsu Terakhir

Baru-baru ini saya membaca Serat Centhini (SC). Niat awalnya, saya membaca SC untuk mempelajari suatu hal di dalamnya, namun setelah menyelesaikannya, saya menemukan pelajaran lain yang lebih berharga. Buku Serat Centhini yang pertama saya miliki adalah Serat Centhini Jilid IV yang ditulis tahun 1970-an dan merupakan tembang asli yang dilatinkan dari Aksara Jawa. Buku ini saya beli dari penjual buku bekas di Yogyakarta yang kebetulan berteman dengan saya di FB. Namun demikian, saya gagal memahami buku ini. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa kuno yang kebanyakan kata-katanya belum pernah saya ketahui sebelumnya.

Karena saya ingin mempelajari suatu hal dari Serat Centhini, saya mencari Serat Centhini yang dituturkan dalam Bahasa Indonesia. Setelah mencari di berbagai toko tidak ketemu, akhirnya pacar saya membelikan Serat Centhini yang dituturkan oleh Elizabeth D. Inandiak dari toko online. Versi Inandiak ini merupakan ringkasan SC dari jilid 1 sampai jilid terakhir, diadaptasi dari tembang-tembang ke bentuk cerita yang mudah dipahami.

SC berisi tentang pengetahuan Jawa dan Islam Jawa yang dituturkan melalui cerita pengembaraan putra-putri Sunan Giri setelah Kerajaan Giri kalah perang melawan pasukan Sultan Agung Mataram. Diceritakan Kerajaan Giri tidak mau tunduk menjadi bagian dari kerajaan Mataram dan tidak mau membayar upeti atau pajak ke Mataram. Karena hal ini, Sultan Agung tidak terima serta meminta Pangeran Pekik di Surabaya yang merupakan adik iparnya untuk menyerang kerajaan Giri. Singkat Cerita, kerajaan Giri kalah dan Sunan Giri ditangkap serta dibawa ke Mataram. Dalam reruntuhan kerajaan Giri, pasukan Pangeran Pekik tidak menemukan putra-putri Sunan Giri. Jayengresmi,putra mahkota Giri melarikan diri dan kebingungan mencari kedua adiknya. Sedangkan kedua adiknya, Jayengsari dan Rancangkapti melarikan diri bersama, ditemani seorang abdinya.

Tokoh utama di sini adalah Jayengresmi. Pada pegembaraan pelariannya sekaligus mencari kedua adiknya, Jayengresmi sampai ke padepokan Ki Ageng Karang dan menimba ilmu di sana. Selesai menimba ilmu, Jayengresmi mengganti nama menjadi Amongrogo yang berarti orang yang memikul raganya. Sampai di sini, ilmu Amongrogo sudah sangat tinggi, dia memiliki pengetahuan luas, baik ilmu Jawa maupun Islam. Amongrogo pun pergi meninggalkan padepokan Ki Ageng Karang menuju ke padepokan teman ki Ageng Karang. Di padepokan ini, Amongrogo menikah dengan Tambangraras, putri pemilik padepokan. Setelah menikah dan memberi pelajaran pada Tambangraras, Amongrogo melanjutkan perjalanan mencari kedua adiknya.

Perjalanan ini membawa Amongrogo ke daerah Gunungkidul, serta mendirikan padepokan dengan dua masjid yang memiliki banyak pengikut, namun pengikut-pengikutnya memiliki kebiasaan atau praktik menyimpang dengan Islam di bawah pimpinan Gathak dan Gathuk, kedua abdi Amongrogo. Kemasyuran dan penyimpangan padepokan ini terdengar oleh Sultan Agung. Menanggapi penyimpangan ini, Sultan Agung memerintahkan patihnya untuk menangkap pimpinan padepokan yaitu Amongrogo. Singkat cerita, Patih Mataram memasukkan Amogrogo kedalam kerangkeng dan menenggelamkannya di Laut Selatan. Namun demikian, kerangkeng tersebut muncul kembali ke permukaan dalam keadaan kosong. Karena kesempurnaan ilmunya, Amongrogo berhasil selamat, bertapa di dasar laut. Amongrogo kemudian mendirikan pulau besi di Laut Selatan dan mengajak Tambangraras, istrinya tinggal di Pulau Besi tersebut. Mereka berdua bebas gangguan karena Pulau Besi tersebut terlindung berkat kekuatan sempurna Amongrogo, sampai suatu hari sebuah kapal membawa Endrasena kakak angkat Amongrogo ke Pulau Besi tersebut.

Endrasena mengabarkan bahwa Sunan Giri, ayah mereka meninggal di penjara Mataram. Endrasena menasehati agar Amongrogo tidak lagi melanjutkan keterasingannya dari kehidupa para makhluk di Pulau Besi dan mengambil tindakan atas kematian ayah mereka. Setelah itu, Amongrogo membawa istrinya, Tambangraras menemui Sultan Agung. Sultan pun tahu siapa Amongrogo dan apa yang ada dalam pikirannya. Sultan Agung menyesal atas kematian Sunan Giri dalam penjaranya. Pembicaraanpun berujung pada kesepakatan bahwa Amongrogo dan Istrinya akan merubah diri menjadi ulat. Ulat jelmaan Amongrogo akan dimakan Sultan Agung, sehingga nantinya akan menitis menjadi anaknya. Ulat jelmaan Tambangraras akan diberikan pada Pangeran Pekik untuk dimakan dengan kondisi sama, bahwa nantinya Ulat tersebut akan menitis menjadi anak keturunan Pangeran Pekik. Keduanya nanti akan dinikahkan, dan keturunan mereka akan meneruskan kepemimpinan Kerajaan Mataram.

Sultan Agung dan ratunya selanjutnya memiliki anak Amangkurat I yang merupakan titisan Amongrogo. Pangeran Pekik dan ratu Pandansari memiliki anak perempuan yang dinikahkan dengan Amangkurat I. Di kemudian hari Amangkurat I memiliki sifat kepemimpinan yang tidak adil. Dia melakukan pembantaian para ulama di seluruh Mataram. Tidak hanya itu, Amangkurat juga membunuh Pangeran Pekik yang merupakan paman sekaligus ayah mertuanya sendiri.

Yang saya petik dari cerita ini adalah tentang keikhlasan. Amongrogo merupakan pribadi yang baik dan taat. Pada pengembaraannya dia mencapai kesempurnaan ilmu yang dia pelajari dari padepokan Ki Ageng Karang. Karena kesempurnaan ilmunya, dia bahkan sampai berhasil membuat Pulau Besi yang bebas dari segala ancaman dan bebas dari kehidupan makhluk. Namun demikian, setelah merubah diri menjadi ulat dan dimakan Sultan Agung, Amongrogo menitis menjadi seorang pribadi yang kejam. Dia melakukan pembantaian begitu banyak ulama di Mataram dan membunuh pamannya sendiri, Pangeran Pekik yang dulu menangkap Sunan Giri dan menyerahkannya ke Mataram. Dalam kesempurnaan ilmu dan kebaikan hatinya, Amongrogo menyimpan sebuah nafsu dan dendam. Nafsu terakhir yang dia pendam atas kematian ayahnya. Nafsu inilah yang merubah Amongrogo menjadi Amangkurat yang kejam.

Dari sini, saya pikir hendaknya kita menyingkirkan nafsu atau hal-hal mengganjal dalam diri kita. Ikhlaskan. Dengan mengikhlaskan segala sesuatu, kemungkinan kehidupan ke depan akan dipermudah dan dihindarkan dari segala keburukan.

Saya pribadi sebelumnya berpikir bahwa saya adalah orang yang ikhlas. Saya menghakimi teman-teman saya yang dalam pandangan saya tidak ikhlas. Biasanya mereka tidak mengikhlaskan benda, kedudukan, bahkan cowok. Terkait hal-hal itu, saya sudah sangat ikhlas. Namun demikian, saya menyadari bahwa saya memiliki hal yang sulit untuk saya iklhaskan. Memang benar saya ikhlas dalam hal yang oleh sebagian besar orang sulit diikhlaskan. Hal ini sudah saya tulis contohnya dalam postingan saya sebelumnya yang berjudul "just another phase on your way to grave". Namun demikian, ternyata saya masih belum mengikhlaskan satu hal dalam hidup. Hal yang mungkin sangat biasa bagi orang lain, namun sangat berarti untuk saya, karena berkaitan dengan perjuangan, tirakat, dan upaya saya selama ini. Satu-satunya tujuan hidup kalau versi berlebihannya. Saya sadar hal ini adalah nafsu terakhir yang harus saya takhlukkan. Saya ingin keikhlasan saya atas semua hal, ilmu yang saya miliki selama ini, beberapa sifat baik saya, skill dan kemampuan saya menjadi hal baik ke depannya dengan mengikhlaskan nafsu terakhir saya. Bukan menjelma menjadi hal tidak baik seperti Amongrogo yang menitis menjadi Amangkurat I.

Jumat, 07 Juli 2017

Kota Baru Sore Hari

Saya tidak bisa untuk tidak mengingat teman saya ini. Dalam beberapa perbincangan, saya beberapa kali menceritakannya. Namanya Maya, teman seangkatan saya waktu S1. Pasca sidang skripsi, kami sama-sama bekerja di instansi kampus. Beberapa waktu pasca wisuda, kami masih saja bekerja di kampus. Saat itu, kami sama-sama berusaha mendaftar suatu beasiswa untuk S2. Kami test TOEFL bareng dan mempersiapkan beberapa perlengkapannya bareng. Namun demikian, saat itu kami tidak lulus beasiswa.

Pada suatu siang, Maya mendatangi kantor saya dan mengatakan akan resign. Dia diterima kerja di salah satu klinik kecantikan ternama, favorit sosialita hits. Saat itu saya terkejut mendengar keputusannya. Saya sendiri berencana akan melanjutkan pekerjaan saya di kampus sambil belajar Bahasa Inggris. Masa Maya bekerja di tempat perawatan kecantikan, dia kan mahasiswa yang sangat cemerlang. Namun demikian, dia mengatakan bekerja di situ karena gaji yang ditawarkan cukup besar. Lagipula, dia akan ditempatkan di Bali, di Kampung halamannya. Dia mengatakan akan mengumpulkan uang dulu dari gajinya tersebut untuk biaya persiapan mencari beasiswa sambil mempersiapkan diri.

Selama bekerja, dia mempersiapkan rencana studi dan berbagai persyaratannya. Dia les IELTS dengan gajinya. Les ini tidak mudah, karena di tempat kerjanya ada shift pagi, siang, dan malam. Sering dia harus berusaha membujuk temannya untuk gantian shift dengannya bila shift tersebut bentrok dengan jadwal les. Setelah selesai les, dia segera tes ielts dan nilainya memenuhi syarat untuk daftar beasiswa maupun sekolah di luar negeri.

Saat itu sedang musim beasiswa Dikti baik dalam dan luar negeri. Saya sendiri pun dapat beasiswa ini untuk S2 dalam negeri dalam periode entah keberapa. Melihat beberapa teman yang sekolah dengan beasiswa ini, Maya berencana mendaftar juga. Namun demikian, ketika semua persyaratannya terpenuhi, beasiswa ini sudah ditutup. Saya adalah angkatan terakhir beasiswa ini. Suatu sore di sebuah tempat makan di kota baru, dia mengatakan pada saya bahwa dia belum apa-apa sementara saya sudah semester dua di S2. Lebih lagi, dia tidak tau mau daftar beasiswa apa karena Dikti sudah tidak menyediakan skema seperti beasiswa saya.

Seperti lagu Sheila, "Tuhan tak akan meninggalkanmu atas yakinmu sejauh ini", saat itu beasiswa LPDP mulai booming. Maya pun mendaftar. Singkat kata, dia lulus dan kuliah di UK. Saat pulang pun, dia terlambat untuk rekruitment dosen di tempat-tempat yang dia targetkan, termasuk di tempat saya. Namun demikian, saat ini dia mengajar di salah satu universitas yang cukup bagus.

Saya menulis ini untuk mengingatkan diri saya sih sebenarnya, bahwa bila satu pintu tertutup, akan ada pintu-pintu lain yang terbuka untuk kita. Kuncinya jangan menangisi pintu yang tertutup tadi. Entah sambil apapun, selama cita-cita tadi tidak mati dan terus berusaha, In shaa Allah pintu akan terbuka. Lagipula saya juga ingin mewujudkan rencana menikah dan anaknya lahir di luar negeri. In shaa Allah.

Jumat, 26 Mei 2017

Perjalanan

Tulisan ini akan menceritakan perjalanan saya menemukan jalan kembali. Kembali di sini maksudnya adalah kembali untuk menyerahkan diri pada Allah dalam hal menjalankan kewajiban utama, yaitu Shalat lima waktu. Menurut saya, kewajiban shalat lima waktu adalah kewajiban fundamental dari kewajiban-kewajiban lainnya. Saya memang tidak pernah menghakimi orang terkait agama dan lain sebagainya. Buat saya, urusan orang biar mereka urus sendiri. Namun demikian, hati saya mengatakan agar saya memperhatikan shalat lima waktu orang-orang yang saya putuskan menjadi orang terdekat. Sejauh ini, Alhamdulillah sahabat-sahabat terdekat saya adalah orang-orang yang sebisa mungkin menjaga shalat lima waktu mereka, kecuali sahabat yang beragama lain.

Sebenarnya shalat lima waktu bukanlah hal mudah buat saya. Untuk akhirnya menjaga pelaksanaannya seperti sekarang ini, saya melalui tahapan yang cukup panjang. Saya mulai diminta orang tua saya untuk shalat lima waktu saat saya kelas empat SD. Sebelum itu saya hanya melaksanakan shalat Magrib karena shalat Magrib di rumah saya dilaksanakan secara berjamaah. Dengan demikian, otomatis semua anggota keluarga ikut. Selain itu, saya kadang-kadang melaksanakan shalat ashar dan isya ketika saya ada kelas mengaji di Masjid dekat rumah.

Saya sudah dapat melaksanakan shalat dengan bacaan lengkap sejak kelas satu SD. Saya belajar bacaan shalat dari kelas Agama Islam di sekolah saya. Selain itu, saya mempelajari bacaan shalat dan tata caranya di tempat mengaji saya di Masjid. Terlepas dari hal tersebut, saya tidak memiliki kesadaran untuk shalat kalau tidak disuruh. Saya pikir saya memang belum wajib melaksanakannya karena saya masih kecil. Pernah saya disuruh shalat Duhur oleh tante saya ketika saya di rumah nenek. Setelah salam, saya langsung melepas mukena dan cepat-cepat kembali bermain. Tante saya memanggil saya kembali dan menyuruh saya berdoa dan berdzikir dulu setelah shalat. Gak boleh langsung pergi. Yah, udah mau sholat aja udah mending, kata saya.

Setelah kelas empat, orang tua saya menyuruh saya sholat lima waktu. Katanya saya sudah besar dan sudah wajib shalat. Namun demikian, saya merasa malas untuk shalat. Saya sepenuhnya menyadari kalau saya berkewajiban untuk shalat. Saya juga beriman kepada Allah SWT. Saya hanya malas, benar-benar malas. Waktu itu saya sudah punya kamar sendiri. Awal-awal perintah dari orang tua, mereka memantau saya agar tidak melanggar. Saat waktu shalat, mereka selalu mengingatkan. Saya pun wudhu dan pergi ke kamar. Namun demikian, di dalam kamar saya tidak shalat. Saya menunggu 5 sampai 10 menit kemudian keluar kamar. Saya menghabiskan waktu pura-pura shalat dengan membaca komk, membaca buku, atau ngapain aja di kamar. Hal ini berlanjut sampai awal kelas 6.

Awal kelas 6, ibu saya mendapati saya membaca komik sambil tiduran di kamar sehabis wudhu. Dia bertanya kok saya tidak shalat. Saya menjawab saya akan shalat abis ini. Mungkin ibu saya mulai curiga. Kemudian dia mendapati saya tidak shalat beberapa kali. Bahkan bapak saya sampai mengamati bentuk lipatan sajadah dan mukena saya. Kemudian dia sengaja ke kamar saya setelah saya wudhu. Saya tidak shalat di kamar. Saya bilang saya sudah selesai shalat. Bapak saya bilang saya bohong karena dia mengamati bentuk lipatan dan letak mukena saya tidak berubah sejak kemarin dan menyuruh shalat saat itu juga. Saya pun shalat. Sampai kesekian kalinya, ibu saya memergoki saya melakukan hal yang sama. Saat itu ibu saya menampar saya keras-keras. menampar dalam arti sebenarnya. Saya langsung menangis. Darah keluar dari gusi saya karena ditampar tadi. Rasanya asin, dan saya tidak berani bergerak, sehingga saya merasakan asinnya darah saya cukup lama sambil meneteskan air mata sambil dengerin ibuk saya ngomel-ngomel entahlah lama banget. Hari itu luar biasa sekali menurut saya. Pertama kali saya digampar, terakhir kali juga sih. Harusnya itu merupakan titik tolak di mana saya harusnya shalat lima waktu setelah peristiwa itu, namun saya tetap tidak shalat. Lha gimana, memang saya malas. Saya beberapa kali bilang sama Allah, meminta maaf karena saya malas shalat. PD banget saya, memangnya saya siapa.

Setelah lulus SD saya melanjutkan sekolah ke SMP 1 yang letaknya di kota. Saya tinggal di rumah nenek saya di Magetan kota supaya dekat dengan sekolah. Tinggal jauh dari orang tua membuat saya lebih bebas. Tidak ada lagi yang mengawasi saya untuk shalat. Saya malah tidak pernah shalat sama sekali. Saat kelas satu, saya masuk siang karena ruangan di SMP 1 tidak cukup waktu itu. Selama jam sekolah, terdapat 2 kali waktu shalat. Pun saya tidak pernah shalat. Waktu duhur saya sering ke luar sekolah, ke Puri Hapsari membeli jepit rambut lucu-lucu atau membeli kue-kue di Imelda dengan teman saya Risma dan Nian. Waktu istirahat Ashar, saya makan bakso di kantin atau membaca buku di perpus dengan mereka juga. Catatan untuk Nian, supaya namanya tetap bersih. Nian selalu shalat meskipun ikut jalan dan makan sama kita-kita. Dia menyempatkan waktu untuk itu. Risma tidak pernah sampai saya bertaubat. Namun demikian, saat ini dia sangat khusuk. Saya dapat menilai dari sosmednya.

Saya bertaubat atas perantara guru fisika saya, Pak Yatno. Beliau ini guru fisika yang bertaqwa. Saya lupa petuah lengkapnya sih. Salah satu yang saya ingat adalah tentang proton dan neutron apa ya. Saya lupa pula pelajaran fisika ini. Kata beliau, perputaran proton dan neutron di setiap benda senada dengan statement "Bumi, langit, dan isinya senantiasa bertasbih pada Allah". Semua berputar, di seluruh alam. Planet-planet, satelit, hingga proton yang tak nampak di setiap benda. Ada banyak lagi ilmu alam yang dia kaitkan dengan tanda-tanda kebesaran Allah. Saya tidak tau kenapa, akhirnya saya mendapat hidayah. Saya memutuskan untuk shalat duhur dan ashar di mushala sekolah. Saya juga shalat yg lain di rumah. Pada kemudian hari saya menyadari bahwa hidayah hanya diberikan oleh Allah kepada orang-orang tertentu. Orang-orang yang beruntung. Saya termasuk beruntung mendapat hidayah ini. Sebelumnya, saya disuruh ibu saya, bapak saya, tante saya untuk shalat. Bahkan saya dibentak, dimarahi habis-habisan oleh bapak saya disuruh shalat. Saya ditampar ibu saya disuruh shalat. Toh saya tetap tidak shalat karena saya belum mendapat hidayah. Saya memiliki kesadaran sepenuhnya, niat, dan aksi untuk shalat setelah saya diberikan hidayah.

Sejak saat itu saya berusaha menjaga shalat lima waktu saya. Saya merasa tidak tenang apabila saya belum shalat. Tentu saja kualitas keimanan saya masih jauh dari predikat baik. Namun demikian, saya berharap dan berusaha akan memperbaiki kualitas keimanan saya.

Magetan, 26 Mei 2017

Senin, 22 Mei 2017

Laki-laki Baik

Banyak laki-laki baik dalam hidup saya dan di sekitar saya. Ada ayah saya, adik saya, om-om saya, sepupu-sepupu saya, dan teman-teman saya. Dalam tulisan ini saya akan membahas tentang kakek saya.

Tulisan ini sebenarnya sebagai bentuk saya menepati janji. Dulu saya berjanji untuk menulis tentang keluarga saya seperti penulis Valerie Miner. Saya sudah menulis tentang salah satu om saya dan salah satu tante saya pada postingan sebelumnya. Kali ini kakek saya dari pihak ibu.

Dia bukan benar-benar kakek saya. Ibu saya adalah anak nenek saya dengan suaminya yang terdahulu. Namun demikian, ibu saya tidak pernah mengenal ayah kandungnya. Nenek saya bercerai pada pernikahan pertamanya ketika ibu saya belum satu tahun. Tak berapa lama, kakek asli saya tersebut meninggal, sehingga ibu saya tidak pernah melihat wajah ayah kandungnya sekali pun.

Kebaikan pertama adalah warisan untuk ibu saya. Rumah kakek nenek saya agak masuk ke desa. Kakek punya sebidang tanah di wilayah yang agak ramai. Tanah tersebut diberikan pada ibu saya, yang sekarang menjadi lokasi rumah kami. Dalam hal ini, kakek saya pernah diprotes saudara-saudaranya tentang kenapa tanah tersebut diberikan pada ibu saya, bukannya anak-anak kandungnya saja. Namun kata ibu, kakek tidak pernah membeda-bedakan sekalipun antara ibu dan tante-tante saya.

Kedua, kakek saya berkontribusi besar terhadap pendidikan ibu saya hingga ibu saya berkarir seperti ini. Dulu ibu saya dilamar seseorang yang entah siapa, saya kurang paham. Lamaran tersebut datang ketika ibu saya lulus SMP. Namun demikian, ibu saya mengatakan pada kakek bahwa dia ingin sekolah. Akhirnya kakek mengabulkan keinginan ibu. Kakek saya sampai rela bekerja di sawah orang kaya di desa tersebut untuk menambah biaya sekolah ibu. Ketika ibu melamar pekerjaan pun, kakek saya ikut wira-wiri ke surabaya untuk memenuhi persyaratan. Dengan demikian, kakek saya secara tidak langsung berkontribusi terhadap pencapaian saya sekarang. Ibu saya tidak jadi menikah dini dengan entahlah. Ibu saya akhirnya berjodoh dengan ayah saya yang merupakan anak orang kaya di desa tersebut.

Kenangan saya dengan kakek cukup banyak. Kakek saya adalah orang yang dengan senyum ceria penuh sayang menolong saya bangun di pagi hari pertama saya punya adik. Saya punya adik ketika berumur 4 tahun, sehingga kondisi ini membuat perhatian orang tua terhadap saya yang masih balita berkurang. Kakek saya semacam orang yang melindungi saya dari kondisi ini.

Banyak hal-hal lain. Entah kenapa yang terlintas dalam benak saya adalah kejadian suatu malam ketika saya, nenek, dan kakek pulang dari pernikahan kerabat. Sebenarnya orang tua saya juga ikut. Kemudian kakek nenek mampir ke rumah kami dan membawa daun pintu dari rumah saya. Mungkin dipesan sebelumnya dari tukang dan diletakkan di rumah saya dulu. Saya ikut kakek nenek untuk menginap. Kami jalan kaki ke rumah joglo nenek. Jaraknya cukup jauh melewati sawah, jembatan, dan jalan pinggir sungai. Kami berjalan dengan canda tawa. Nenek saya menggendong anyaman bambu berisi oleh-oleh pernikahan. Kakek saya menyunggi daun pintu. Di tengah jalan, nenek saya merasa capek dan keberatan akan gendongannya. Kemudian, kakek saya menyuruh nenek meletakkan anyaman bambu tersebut di atas daun pintu yang disunggi kakek. Pasti lebih berat, tapi kakek saya bertahan membawa beban tersebut sampai rumah. Kini saya berpikir, kalau tidak sayang, mana mau kakek saya melakukan itu. Oleh karenanya, saya akan menikah dengan orang yang menyayangi saya.

Pernah suatu ketika ketika saya SD, kakek saya jatuh dari sepeda. Jatuhnya cukup parah karena rem blong di jalan turunan, dan kepalanya membentur pagar tembok sebuah rumah. Kakek harus dilarikan ke rumah sakit dan dioperasi. Saya ingat betul, saya menemani nenek saat itu di rumah. Dia tidak ikut ke rumah sakit. Entah apa yang dipikirkan nenek, dia kok malah mencuci piring di sumur. Karena khawatir, saya mengikutinya dan menungguinya di sumur seperti orang kurang kerjaan. Saya tidak berani mengatakan sepatah pun, takut salah ngomong. Lalu nenek mulai terisak. Dia tau saya di situ. Dia kemudian mengatakan semoga kakek selamat sambil tersedu. Lukanya memang sangat parah di kepala, sampai kakek tak sadarkan diri. Nenek tersedu, kemudian curhat ke saya. Dibandingkan suaminya yang pertama, kakek saya ini lebih ngertiin nenek ke mana-mana. Kakek mau diajak diskusi, merintis usaha bersama dan membesarkan anak-anak. Intinya mau diajak omongan dan mendengarkan pendapat nenek. Suaminya yang pertama, boro-boro. Selalu memaksakan kehendak.

Nenek menikah dua kali bukan karena salah dia. Dia menikah karena disuruh ibunya yaitu nenek buyut saya yang saya masih kenal baik dengan dia sampai saya SMP. Setelah saya SMP kelas 3, dia baru meninggal. Saya akan ceritakan tentang dia di kemudian hari, karena dia juga spesial di hati saya. Nenek saya manut saja ketika disuruh menikah. Dia tidak punya pilihan. Suaminya pun juga pilihan nenek buyut. Suami pertama didatangkan dari desa yang agak jauh, Desa Pupus. Kata ibu, semua keluarga menantu nenek buyut saya memiliki kuda putih, kecuali keluarga kakek saya ini. "Lha kok sangar rek!", batin saya. Mungkin nenek buyut men-screening orang-orang kaya di penjuru kecamatan untuk dijadikan besan. Kenalan nenek buyut banyak karena dia seorang pedagang. Nah, karena dipilihkan nenek buyut ini, suami pertamanya gak cocok. Ya memang gak jodo.

Suami kedua yaitu kakek saya juga dipilihkan nenek buyut sebenarnya, tapi Alhamdulillah, suami kedua ini cocok dengan nenek. Pengertian, mau diajak diskusi, dan sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Baiknya minta ampun. Kebaikannya dapat dirasakan baik nenek, anak-anaknya, cucu-cucunya, dan para tetangga.

Oh iya, ada kenangan manis saya tentang kakek. elahh, kenangan manis. Di depan rumah joglo mereka terdapat pohon jambu air. Suatu ketika, jambu air sudah pada matang, warnanya merah-merah. Karena buahnya lebat, kakek memutuskan untuk menjualnya dengan menitipkan ke adiknya yang jualan di sekolah depan rumah saya. Kakek memanjat sendiri pohon jambu air tersebut. Di bawah pohon, digelarlah layar yang biasanya untuk menjemur padi. Para tetangga menunggu di bawah pohon. Kakek saya membawa kresek besar di atas pohon. Sesekali kakek memasukkan buah jambu ke kresek, sesekali kakek menjatuhkan gerombolan buah jambu air ke bawah, di atas layar. Para tetangga berebutan mengambili buah jambu tersebut. Sore itu sangat ramai dan menyenangkan. Penuh tawa, saya sampai ngakak, berebutan, dan kekenyangan jambu air.

Kakek saya unik juga. Dia terbiasa mengenakan baju batik dan topi mirip koboi kalau pergi ke mana-mana. Suatu hari dia cerita ke saya bahwa hari sebelumnya dia pergi ke Telaga Sarangan sendirian. ebuset, lha kok ngiwut, kata saya dalam hati. Waktu kutanya emang ngapain ke sana, dia bilang dia ingin refreshing dan piknik aja. Dia jalan ke tempat angkot, terus naik angkot sendiri. Nyampai Sarangan, dia jalan mengelilingi telaga sendiri, sambil menikmati keindahan alam. Kenapa nenek gak diajak? Karena nenek gak terlalu suka piknik-piknikan. Suatu ketika saya SD saya teringat cerita kakek ini dan terinspirasi. Saya mengemasi bekal dalam ransel dan memakai jeans serta jaket. Saya selalu punya uang simpanan hasil angpao lebaran. Saya sudah bersiap berangkat, namun ketika nyampai teras, ibu saya memarahi saya. Ngapain ke sarangan sendiri kayak orang hilang katanya. haha. Waktu dewasa, saya selalu ingat cerita ini, sehingga kadang saya pergi piknik sendiri kalau sendang penat.

Kakek saya sekarang sudah tua. Kemampuan penglihatannya juga sudah berkurang, sehingga dia hanya di rumah saja. Katanya dia khawatir dianggap sombong ketika tidak menyapa orang, padahal memang dia tidak melihat. Saya sedih atas hal ini. Bahkan ke teras saja dia terkendala kondisi tadi. Takutnya ada orang lewat dan dia gak bisa lihat sehingga gak nyapa. Dia di rumah saja.

Kakek saya shalat lima waktu, setahu saya tidak pernah absen. Ketika saya pulang kemarin, saya ke rumah nenek saya. Saat itu sore. Seusai shalat Ashar, saya sok ngelamun memandang ke arah luar jendela ruang shalat. Sebelah ruangan itu adalah kamar kakek saya. Dia habis shalat juga rupanya. Dia melafalkan Dzikir dan do'a-do'a dengan keras. Yaudah saya dengerin aja sambil melihat pemandangan dari jendela. Namun demikian, saya terkejut, di tengah do'anya kakek menyebut nama saya dan adik-adik sepupu saya. Serius, saat itu saya ingin menitikkan air mata. Dia sebut nama kami satu per satu. Semoga diperlancar dalam rezeki, pekerjaan, sekolah, dan jodoh. Intinya do'a yang terbaik buat kami. Ya Allah, kakek, terlepas dari kenangan lucu masa kecil, di masa tua yang sudah tak sesehat dulu dia selalu mendoakan saya dan adik-adik sepupu saya. Ingin rasanya kupeluk saat itu juga, tapi saya sedang kerepotan menghapus air mata dan kakek sedang khusuk berdo'a. Saya kemudian berpikir, segala keberuntungan, beasiswa, sekolah, dan pekerjaan yang selama ini saya dapatkan adalah berkat do'a orang-orang yang menyayangi saya. Terimakasih banya, Kek.

Paragraf penutup. Sering ketika saya di rumah nenek, saya melihat nenek membuatkan kopi pagi dan sore untuk kakek. Nenek menawari saya mau dibuatkan minuman apa, tapi saya tidak suka minuman yang manis-manis. Hal itu menunjukkan keromantisan mereka berdua. Romantis walau hanya dalam segelas kopi. Pernah dulu saya menulis status. Dulu sekali sekitar tahun 2012, saya menulis bahwa saya tidak ingin mendapatkan kisah romantis romeo dan juliet. Saya ingin mendapat rumah tangga romantis seperti kakek dan nenek saya. Mendapatkan laki-laki sebaik kakek saya.

Malang, 23 Mei 2017.

Pernikahan

Kata orang, kalau kita memvisualisasikan sesuatu dengan jelas dan detail, hal tersebut akan segera terwujud. Kali ini saya akan memvisualisasikan pernikahan saya.

Saya menikah dengan laki-laki baik yang sangat mencintai saya. Pun saya juga mencintai dia. Sesuai dengan ajaran agama untuk memilih pasangan, laki-laki yang saya pilih ini bertaqwa kepada Allah SWT, sehingga menjadi imam yang baik untuk saya. Dia memiliki harta yang cukup untuk membiayai rumah tangga kami. Dia juga memiliki wajah yang tampan. Dia berasal dari keturunan yang baik. Laki-laki ini bisa memahami saya. Dia punya kecerdasan yang tinggi, namun demikian selalu rendah hati dengan kecerdasan yang dia miliki. Dia menggunakan kecerdasan itu untuk kontribusi lingkungan, bangsa, negara, dan menghadapi hal-hal biasa di sekitarnya. Menghadapi orang dari berbagai kalangan, baik yang cerdas seperti dia, maupun yang biasa saja. Hal tersebutlah yang membuat kami saling memahami. Apabila ada hal yang tidak sejalan, selalu kami bicarakan hingga menemukan penyelesaian. Dalam hal ini, dia tidak dominan. Meskipun dia cerdas, dia tidak menganggap dirinya paling benar. Dia selalu mendengarkan pendapat saya dan "menempatkan diri di sepatu saya" untuk memahami apa yang saya rasakan dan pikirkan. Sayapun juga demikian terhadapnya.

Pesta pernikahan kami diselenggarakan di rumah saya pada Bulan Agustus 2017. Tidak benar-benar di rumah sepenuhnya sih ya. Saya meminjam lapangan sekolah di depan rumah saya untuk memasang dekor pernikahan. Kursi tamu pun juga ditata di lapangan tersebut. Ada tenda berwarna biru yang menaunginya. Saya mengenakan jilbab dan baju berwarna peach. Baju Muslim pesta yang unik dan klasik. Baju mempelai pria berwarna hitam. Ada bunga-bungan Melati dan Kanthil menghiasi jilbab saya. Dekor bermaterial kayu, berwarna hitam. Terdapat janur di sisi kiri dan kanan dengan bunga-bunga indah menghiasi dekor janur.

Makanan pesta seperti layaknya di desa saya. Pertama, nasi dengan daging lapis, kemudian sop, dan terakhir es podeng. Saya ingin mempertahankan makanan pesta yang sudah saya temui sejak kecil di desa saya. Selain itu juga terdapat snack denga isian kacang bawang, kue gulung rasa moca, lemper, dan aqua gelas.

Saya memberikan suvenir untuk tamu-tamu undangan saya. Seperti yang sudah saya rencanakan sejak zaman dahulu, suvenir pernikahan saya adalah bibit pohon. Pohon yang saya jadikan suvenir adalah pohon buah-buahan. Alasannya adalah, supaya pohon tersebut ditanam. Tidak dipungkiri, tidak semua orang suka menanam pohon. Apabila pohon buah, kemungkinan akan ditanam karena mempertimbangkan buah yang bisa dipetik setiap musim. Tujuan saya menjadikan bibit pohon sebagai suvenir adalah supaya pernikahan kami berkontribusi untuk lingkungan. Dalam waktu-waktu yang kami lalui dalam pernikahan kami, pohon-pohon tersebut terus tumbuh, menyumbang oksigen, memberikan keteduhan, dan menyumbang buah-buahan.

Setelah pesta pernikahan, saya ngapain ya, tau lah ya -> makan makanan pesta yang sengaja disimpan untuk saya dan suami saya. Maklum, tadi pas di pelaminan hanya makan nasi kuning pas suap-suapan. Masih lapar deh.

Saya ikut suami saya di kota tempat dia bekerja setelah saya menikah. Kotanya sangat menyenangkan. Saya mendapat pekerjaan yang saya sukai. Kami juga berkesempatan untuk melanjutkan sekolah di luar negeri bersama-sama. Seperti yang saya sering tulis dulu, ternyata hal tersebut jadi kenyataan. Saya hamil dan melahirkan di Eropa. Kami saling bantu dalam mengurus anak, mengurus rumah tangga, dan mengurus akademis. Sepulangs sekolah, kami meniti karir masing-masing. Namun demikian, anak kami tetap terawat dengan baik dengan pendidikan baik. Dia pun dapat mencapai cita-citanya. Anak saya satu saja. Maksimal dua. Hal tersebut mempertimbangkan peningkatan pertumbuhan penduduk tak terkendali. Pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan konsumsi bahan pangan dan energi. Keluarga kami sangat perhatian terhadap lingkungan.

Demikian visualisasi pernikahan saya.

Malang, 23 Mei 2017.


Minggu, 05 Februari 2017

Berkah Waktu

Sekitar setahun lalu ketika baru pindah ke Malang, saya merasa waktu di Malang terasa begitu cepat. Sangat cepat. Mungkin ini adalah efek dari perpindahan saya dari Yogya atau Magetan yang terletak cukup jauh lebih ke Barat daripada Malang. Di Malang waktu terbit dan terbenam matahari terasa jauh lebih cepat. Karena saya Muslim, saya sudah terbiasa menandai waktu dengan waktu Adzan. Hal ini lebih terasa lagi di Malang, Adzan lebih awal dibandingkan dengan di Magetan atau di Yogyakarta. Terlebih, kebiasaan di Malang, Masjid-Masjid memutar rekaman bacaan Al-Qur'an sekitar satu jam sebelum Adzan. Misal Adzan Magrib pukul 17.30, kumandang Al-Qur'an sebelum Adzan sudah terdengar sebelum pukul 17.00. Matahari juga sudah mulai condong ke Barat. Hal ini membuat suasana terasa sudah hampir malam. Saya pribadi merasa "gopoh", bahasa Jawa untuk buru-buru padahal ada hal yang belum selesai. Terasa buru-buru, waktu di Malang terlalu cepat. Awal pindah ke Malang, saya pernah menulis di Path bahwa waktu di Malang terasa berjalan begitu cepat, setengah 6 kurang sudah Adzan Magrib. Hal ini menunjukkan agar saya harus bergegas. Kira-kira seperti itu. Kalau sudah tau waktu berjalan terlalu cepat, maka saya harus lebih cepat.

Waktu yang terasa cepat ini mugkin bukan hanya perasaan saya saja. Pernah pada awal 2015, saya dan teman saya, Novita, piknik ke Malang. Jam di HP kita (yang notabene on line) berbeda dengan jam di Malang. Serius. Bahkan, kalau kami comment di path, comment kami berada di urutan atas daripada comment yang kami jawab. Waktu di HP kami lebih lambat daripada waktu di jam-jam di Malang yang mungkin considered as waktu sebenarnya pada saat itu. Serius, kami bertanya-tanya tentang hal itu, tapi tidak terlalu memusingkannya lebih lanjut. Namun demikian, fenomena ini tidak saya alami lagi beberapa bulan kemudian, ketika saya pindah ke Malang. Jam di HP yang saya bawa dari Yogya sama dengan jam yang ada di Malang. Entah, saya kurang paham dengan semua ini. halah, lebay. tapi bener loh. saya benar-benar mengalami jam yang lebih lambat di Malang pada Februari 2015. Intinya ya tadi, saya merasa waktu di Malang terasa sangat-sangat cepat.

Namun demikian, hal tersebut berubah sekitar dua bulan ini. Saya terbiasa Sholat dulu sebelum bepergian agar tidak terlewat waktu Sholat ketika sedang sibuk dan agar tidak ribet di luaran. Saat itu saya menuggu-nunggu Adzan, tapi lupa Adzan apa ya. haha. Saya menunggu lama sekali, kemudian saya googling waktu Shalat di Malang bulan itu. Saya mendapati waktu Shalatnya jauh bergeser ke belakang. Jauh sekali. Tumben, kata saya dalam hati. 

Bos saya di kantor adalah orang yang sangat religius.Beliau selalu mengingatkan untuk Shalat di awal waktu. Saat itu, waktu beliau menanyakan sudah Shalat atau belum, saya menjawab bahwa waktu itu belum Adzan. Waktu Shalat pada hari-hari tersebut mundur sekali. Kemudian ada satu teman kantor berkata bahwa hal tersebut adalahh berkah waktu. Waktu yang dimundurkan. Saya tidak bertanya lebih lanjut, namun berpikir bahwa berkah waktu adalah waktu terbit dan tenggelam matahari yang mundur serta waktu-waktu Shalat yang mundur. Saya kurang paham juga sih tentang hitungan waktu dalam ilmu pasti. Bukankah maju mundur waktu Shalat maupun terbit dan tenggelam matahari tidak mempengaruhi jumlah waktu dalam sehari? Namun demikian, saya pribadi merasa berpengaruh. Saya merasa mendapat tambahan waktu. Hanya merasa saja. Ketika Adzan Subuh lebih mundur, terbit Matahari mundur, Adzan Magrib Mundur dan tenggelamnya Matahari Mundur, saya merasa waktu lebih banyak, lebih panjang. Mungkin inilah yang dinamakan berkah waktu. Dengan diberikannya berkah waktu ini, hendaknya saya tidak menyia-nyiakannya. Waktu yang diberikan apalagi dengan bonus ini harusnya dimanfaatkan dengan sangat produktif.

Hingga hari ini, Minggu, 5 Februari 2017, saya masih merasakan berkah waktu di Malang. Pukul 17.57, saat saya menulis postingan ini, saya masih melihat langit terang dari jendela kaca kamar saya. Biasanya setengah 6 kurang saja di Malang sudah gelap gulita. Terimakasih Tuhan telah memberikan berkah waktu. Semoga saya dapat memanfaatkan bonus ini dengan sangat baik.

Malang, 5 Februari 2017.