Sebenarnya saya ingin menulis ini sejak dua tahun lalu, tetapi belum sempat dan hampir terlupa. Namun demikian, di antara banyak hal yang dengan mudah saya lupakan, topik ini mengendap di pikiran saya meskipun berselang waktu yang cukup lama. Tentang kultum di sebuah masjid di Yogyakarta, tepatnya di daerah Sudagaran. Tentang nikmat. Salah satu nikmat yang paling utama kata pemberi ceramah waktu itu adalah nikmat iman. Kelihatannya sederhana, namun coba pikir kembali, tidak semua manusia mendapatkan nikmat iman. Apabila di antara kita mendapatkan nikmat iman, dapat dikatakan bahwa kita adalah salah satu orang terpilih yang diberikan nikmat luar biasa.
Saat itu saya kemudian teringat pada salah satu bagian dari cerita The Da Vinci Code. Dalam bagian tersebut, seorang pendeta menanyakan pada Robert Langdon tentang apakan dia percaya pada Tuhan. Kemudian Langdon menjawab bahwa dia belum mendapat nikmat itu. Dari sini juga digambarkan bahwa iman adalah nikmat yang tidak diberikan pada semua orang. Kemudian bagaimana rasa nikmat itu? Seperti halnya minuman kopi atau teh, apabila minuman tersebut hanya berisi kopi atau teh dengan air saja maka akan terasa pahit, ya meskipun ada beberapa orang yang menyukai minuman pahit tanpa gula. Demikian pula, apabila berisi gula dan air saja, maka hanya akan terasa manis. Untuk mendapatkan rasa yang nikmat, paduan manis dan pahit hendaknya disatukan. Paduan kopi atau teh dengan gula akan menjadikan minuman terasa lebih nikmat. Pun dengan hidup, apabila kita sudah diberi nikmat iman, makan kehidupan yang selalu manis dan indah mungkin belum merepresentasikan nikmat iman yang sesungguhnya. Seperti halnya suatu ayat yang intinya mengatakan bahwa apakah kamu dibiarkan mengatakan kamu telah beriman padahal kamu belum diuji. Mungkin dalam kondisi biasa, aman, terkendali, akan sangat mudah untuk menjalankan hal-hal yang menjadi inidikator iman. Namun demikian apakah hal tersebut akan bertahan dalam kondisi sebaliknya?
Merujuk kisah Bilal, pengikut Rasul yang setia. Setelah berikrar bahwa dia percaya kepada Allah dan Rasul, dia ditangkap oleh kaum kafir Quraish, dipaksa untuk meninggalkan keimanannya dengan cara disiksa habis-habisan. Kaum kafir melakukan penyiksaan dengan tujuan sampai Bilal mau menghentikan keimanannya. Namun demikian, Bilal tetap teguh pada pendirian dan keimanannya meskipun siksaan yang diterima hampir tidak dapat ditanggung lagi. Sampai pada upaya penyiksaan terhadapnya berakhir, keimanannya tetap bertahan. Pada akhirnya, setelah bebas, Bilal menjadi penyeru Adzan yang terkenal pada masanya. Pada masa itulah, Bilal merasakan nikmat yang luar biasa. Dia merasa manisnya menjadi penyeru untuk melakukan ibadah di kondisi yang aman dan kondusif, setelah sebelumnya merasakan siksaan yang berat. Iman adalah perpaduan antara pahit dan manis kehidupan yang tidak menghentikan yang bersangkutan mengentikan ketaatannya.
Kenapa saya tetiba ingat Kultum dua tahun lalu adalah peristiwa yang saya alami akhir-akhir ini dan Kultum yang saya dengar di sebuah Masjid di Malang. Ya, saya sudah pindah tinggal di Malang hampir setahun ini. Sejak itu pula saya merasa bahwa keimanan saya agak memudar. Saya menyadari itu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Iman adalah nikmat luar biasa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Saya tidak tahu harus bagaimana apabila sedikit demi sedikit keimanan saya mulai memudar. Saya tetap menjalankan kewajiban agama, namun tidak serajin seperti sebelumnya. Saya hanya sholat, membaca Kitab suci pun jarang-jarang. Hal tersebut terlebih terlihat pada Bulan Ramadhan. Sebelumnya, saya tidak pernah mau meninggalkan shalat tarawih berjamaah, entah di Masjid, maupun Mushala. Namun sekarang, saya merasa malas pergi ke Masjid. Saya memilih Shalat tarawih di rumah saja. Penurunan juga terjadi pada pembacaan kitab suci dan ibadah lain.
Pernah suatu kali saya cerita ke teman saya bahwa saya bete karena pada hari Minggu, Masjid dekat kos saya dari pagi sampai lewat tengah hari mengadakan acara pembacaan Qur’an sampai khatam. Kemudian tak berapa lama kemudian, terdengar suara mengaji persiapan Ashar sampai adzan Ashar. Tak berapa lama kemudian, kira-kira 45 menit sebelum Magrib, sudah diputar ngaji sebelum adzan sampai Adzan Magrib. Setelah itu, ibu kost menyalakan pengajian sampai Isya dan seterusnya. It felt like never ending mengaji, dan jujur saya merasa kurang nyaman. Kemudian teman saya dengan sedikit bercanda menyuruh saya untuk dirukyah, karena bagaimana mungkin mendengar ayat suci malah tidak suka. Mungkin ada benarnya, saya perlu dirukyah. Di pelajaran SD pun saya mempelajari bahwa ciri orang beriman adalah apabila dibacakan ayat suci maka bergetar hatinya. Lha ini, saya malah merasa tidak nyaman.
Sampai pada saat ikatan itu kembali menguat. Mungkin Allah masih kasihan kepada saya sehingga saya diberi kembali sedikit peningkatan level keimanan. Di kantor saya, pagi. Staff part time menyalakan pembacaan ayat suci di mejanya. Awalnya saya merasa tidak nyaman. Timbul keinginan untuk mengambil headset dan mendengarkan musik dari laptop saya. Namun demikian, hati saya menyuruh saya untuk bertahan sebentar lagi. Sebentar lagi, tolong bertahanlah. Lawan rasa tidak nyaman itu. Kemudian saya bertahan dan akhirnya saya merasa biasa saja. Mungkin inilah cara merukyah mandiri. Mungkin. Entahlah.
Tidak semudah itu peningkatan level iman diberikan. Ya, mungkin mengingat bahwa iman adalah hal besar yang tidak mudah dianugerahkan pada sembarang orang. Setelah peristiwa pagi di kantor, saya masih merasa malas pergi ke Masjid untuk Tarawih. Tentunya sangat beda jauh ketika saya di Yogya, saya hampir selalu ke Masjid Agung Kauman untuk Tarawih dilanjut Tadarus dan Itikaf. Sampai teman kos saya di Malang mengajak saya untuk Tarawih ke Masjid. Awalnya saya menolak, kemudian dengan malas, saya ikut juga. Pertama ke Masjid, mungkin karena dalam keadaan capek setelah seharian di kantor, saya merasa tidak konsen dan bosan dengan Kultum yang sungguh klise. Topiknya sudah diketahui hampir semua orang. Mungkin. Atau cuma saya saja yang sudah dengar berkali-kali? Kemudian kedua kali saya diajak ke Masjid, awalnya juga malas, tapi akhirnya mau juga. Saat itulah Kultumnya adalah hal yang membuat saya menulis postingan ini. Mengenai hati. Hati kita berada di antara dua jari Yang Maha Kuasa. Tuhan adalah Dzat yang membolak-balikkan hati. Kita dapat berubah pikiran, perasaan, bahkan keimanan dalam waktu cepat. Ada kalanya keimanan kita pada level paling tinggi. Ada kala pada level paling rendah. Bagaimana bila pada saat keimanan sedang buruk dan meninggal dunia, makan akan meninggal dalam keadaan tidak khusnul khotimah. Kemudian agar nikmat iman kita selalu terjaga, kita dapat memohon kepada Yang Maha Kuasa. Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu dan di atas ketaatanku.
Saya pulang dari Masjid dan manjalani hal-hal seperti biasa. Namun ada yang berbeda. Keesokan harinya saya bangun untuk Sahur setelah hampir tidak pernah bangun sahur pada Ramadhan ini (Sahur adalah termasuk keutamaan dalam berpuasa). Saya pergi ke Masjid dengan rela hati dan tidak ada pikir dulu atau diajak teman. Kenapa demikian? Menurut ustadz, ciri-ciri ibadah yang diterima adalah ibadah yang membuat kita ringan melakukan ibadah selanjutnya. Mungkin sebelumnya nilai ibadah saya minimal karena tidak dilakukan dari hati dan level keimanan minimal. Tapi ya tidak tahu juga. Hehe. Mungkin setelah hati saya dibalik, saya cenderung lebih bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah. Mungkin. FYI, contoh ibadah diterima membuat kita ringan melakukan ibadah selanjutnya adalah setelah sholat, bersemangat untuk sholat sunah, dzikir dan mengaji. Setelah puasa, semangat untuk tarawih, dsb, tanpa ada rasa keberatan dan malas. Ibadah yang dilakukan bukan sekedar sebagai penggugur kewajiban, namun dari dalam hati. Menikmati nikmat keimanan kita.
Kembali saya teringat novel yang ditulis Dan Brown, Angel and Demon. Saat itu Langdon bertanya kepada Sophie apakah dia percaya Tuhan. Sophie mengatakan tidak tahu juga. Namun demikian, Langdon menceritakan dirinya yang tidak percaya Tuhan, waktu kecil jatuh ke dalam sumur yang dalam dan gelap. Dia tidak sengaja memohon pada Tuhan agar tidak mati saat itu dan memohon keselamatan. Saat itu akhirnya dia selamat. Saya juga percaya akan hal-hal ajaib seperti yang saya alami saat ini. Saya yakin ini adalah keajaiban di mana hati saya kembali sedikit dibalik. Keajaiban setelah saya tidak sengaja berdoa mengikuti ustad pemberi Kultum di Masjid. Keajaiban di mana saya kembali memiliki keinginan yang kuat untuk beribadah. Menikmati nikmat iman.
Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu dan di atas taatku.
Malang, 17 Juni 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar