Jumat, 26 Mei 2017

Perjalanan

Tulisan ini akan menceritakan perjalanan saya menemukan jalan kembali. Kembali di sini maksudnya adalah kembali untuk menyerahkan diri pada Allah dalam hal menjalankan kewajiban utama, yaitu Shalat lima waktu. Menurut saya, kewajiban shalat lima waktu adalah kewajiban fundamental dari kewajiban-kewajiban lainnya. Saya memang tidak pernah menghakimi orang terkait agama dan lain sebagainya. Buat saya, urusan orang biar mereka urus sendiri. Namun demikian, hati saya mengatakan agar saya memperhatikan shalat lima waktu orang-orang yang saya putuskan menjadi orang terdekat. Sejauh ini, Alhamdulillah sahabat-sahabat terdekat saya adalah orang-orang yang sebisa mungkin menjaga shalat lima waktu mereka, kecuali sahabat yang beragama lain.

Sebenarnya shalat lima waktu bukanlah hal mudah buat saya. Untuk akhirnya menjaga pelaksanaannya seperti sekarang ini, saya melalui tahapan yang cukup panjang. Saya mulai diminta orang tua saya untuk shalat lima waktu saat saya kelas empat SD. Sebelum itu saya hanya melaksanakan shalat Magrib karena shalat Magrib di rumah saya dilaksanakan secara berjamaah. Dengan demikian, otomatis semua anggota keluarga ikut. Selain itu, saya kadang-kadang melaksanakan shalat ashar dan isya ketika saya ada kelas mengaji di Masjid dekat rumah.

Saya sudah dapat melaksanakan shalat dengan bacaan lengkap sejak kelas satu SD. Saya belajar bacaan shalat dari kelas Agama Islam di sekolah saya. Selain itu, saya mempelajari bacaan shalat dan tata caranya di tempat mengaji saya di Masjid. Terlepas dari hal tersebut, saya tidak memiliki kesadaran untuk shalat kalau tidak disuruh. Saya pikir saya memang belum wajib melaksanakannya karena saya masih kecil. Pernah saya disuruh shalat Duhur oleh tante saya ketika saya di rumah nenek. Setelah salam, saya langsung melepas mukena dan cepat-cepat kembali bermain. Tante saya memanggil saya kembali dan menyuruh saya berdoa dan berdzikir dulu setelah shalat. Gak boleh langsung pergi. Yah, udah mau sholat aja udah mending, kata saya.

Setelah kelas empat, orang tua saya menyuruh saya sholat lima waktu. Katanya saya sudah besar dan sudah wajib shalat. Namun demikian, saya merasa malas untuk shalat. Saya sepenuhnya menyadari kalau saya berkewajiban untuk shalat. Saya juga beriman kepada Allah SWT. Saya hanya malas, benar-benar malas. Waktu itu saya sudah punya kamar sendiri. Awal-awal perintah dari orang tua, mereka memantau saya agar tidak melanggar. Saat waktu shalat, mereka selalu mengingatkan. Saya pun wudhu dan pergi ke kamar. Namun demikian, di dalam kamar saya tidak shalat. Saya menunggu 5 sampai 10 menit kemudian keluar kamar. Saya menghabiskan waktu pura-pura shalat dengan membaca komk, membaca buku, atau ngapain aja di kamar. Hal ini berlanjut sampai awal kelas 6.

Awal kelas 6, ibu saya mendapati saya membaca komik sambil tiduran di kamar sehabis wudhu. Dia bertanya kok saya tidak shalat. Saya menjawab saya akan shalat abis ini. Mungkin ibu saya mulai curiga. Kemudian dia mendapati saya tidak shalat beberapa kali. Bahkan bapak saya sampai mengamati bentuk lipatan sajadah dan mukena saya. Kemudian dia sengaja ke kamar saya setelah saya wudhu. Saya tidak shalat di kamar. Saya bilang saya sudah selesai shalat. Bapak saya bilang saya bohong karena dia mengamati bentuk lipatan dan letak mukena saya tidak berubah sejak kemarin dan menyuruh shalat saat itu juga. Saya pun shalat. Sampai kesekian kalinya, ibu saya memergoki saya melakukan hal yang sama. Saat itu ibu saya menampar saya keras-keras. menampar dalam arti sebenarnya. Saya langsung menangis. Darah keluar dari gusi saya karena ditampar tadi. Rasanya asin, dan saya tidak berani bergerak, sehingga saya merasakan asinnya darah saya cukup lama sambil meneteskan air mata sambil dengerin ibuk saya ngomel-ngomel entahlah lama banget. Hari itu luar biasa sekali menurut saya. Pertama kali saya digampar, terakhir kali juga sih. Harusnya itu merupakan titik tolak di mana saya harusnya shalat lima waktu setelah peristiwa itu, namun saya tetap tidak shalat. Lha gimana, memang saya malas. Saya beberapa kali bilang sama Allah, meminta maaf karena saya malas shalat. PD banget saya, memangnya saya siapa.

Setelah lulus SD saya melanjutkan sekolah ke SMP 1 yang letaknya di kota. Saya tinggal di rumah nenek saya di Magetan kota supaya dekat dengan sekolah. Tinggal jauh dari orang tua membuat saya lebih bebas. Tidak ada lagi yang mengawasi saya untuk shalat. Saya malah tidak pernah shalat sama sekali. Saat kelas satu, saya masuk siang karena ruangan di SMP 1 tidak cukup waktu itu. Selama jam sekolah, terdapat 2 kali waktu shalat. Pun saya tidak pernah shalat. Waktu duhur saya sering ke luar sekolah, ke Puri Hapsari membeli jepit rambut lucu-lucu atau membeli kue-kue di Imelda dengan teman saya Risma dan Nian. Waktu istirahat Ashar, saya makan bakso di kantin atau membaca buku di perpus dengan mereka juga. Catatan untuk Nian, supaya namanya tetap bersih. Nian selalu shalat meskipun ikut jalan dan makan sama kita-kita. Dia menyempatkan waktu untuk itu. Risma tidak pernah sampai saya bertaubat. Namun demikian, saat ini dia sangat khusuk. Saya dapat menilai dari sosmednya.

Saya bertaubat atas perantara guru fisika saya, Pak Yatno. Beliau ini guru fisika yang bertaqwa. Saya lupa petuah lengkapnya sih. Salah satu yang saya ingat adalah tentang proton dan neutron apa ya. Saya lupa pula pelajaran fisika ini. Kata beliau, perputaran proton dan neutron di setiap benda senada dengan statement "Bumi, langit, dan isinya senantiasa bertasbih pada Allah". Semua berputar, di seluruh alam. Planet-planet, satelit, hingga proton yang tak nampak di setiap benda. Ada banyak lagi ilmu alam yang dia kaitkan dengan tanda-tanda kebesaran Allah. Saya tidak tau kenapa, akhirnya saya mendapat hidayah. Saya memutuskan untuk shalat duhur dan ashar di mushala sekolah. Saya juga shalat yg lain di rumah. Pada kemudian hari saya menyadari bahwa hidayah hanya diberikan oleh Allah kepada orang-orang tertentu. Orang-orang yang beruntung. Saya termasuk beruntung mendapat hidayah ini. Sebelumnya, saya disuruh ibu saya, bapak saya, tante saya untuk shalat. Bahkan saya dibentak, dimarahi habis-habisan oleh bapak saya disuruh shalat. Saya ditampar ibu saya disuruh shalat. Toh saya tetap tidak shalat karena saya belum mendapat hidayah. Saya memiliki kesadaran sepenuhnya, niat, dan aksi untuk shalat setelah saya diberikan hidayah.

Sejak saat itu saya berusaha menjaga shalat lima waktu saya. Saya merasa tidak tenang apabila saya belum shalat. Tentu saja kualitas keimanan saya masih jauh dari predikat baik. Namun demikian, saya berharap dan berusaha akan memperbaiki kualitas keimanan saya.

Magetan, 26 Mei 2017

Senin, 22 Mei 2017

Laki-laki Baik

Banyak laki-laki baik dalam hidup saya dan di sekitar saya. Ada ayah saya, adik saya, om-om saya, sepupu-sepupu saya, dan teman-teman saya. Dalam tulisan ini saya akan membahas tentang kakek saya.

Tulisan ini sebenarnya sebagai bentuk saya menepati janji. Dulu saya berjanji untuk menulis tentang keluarga saya seperti penulis Valerie Miner. Saya sudah menulis tentang salah satu om saya dan salah satu tante saya pada postingan sebelumnya. Kali ini kakek saya dari pihak ibu.

Dia bukan benar-benar kakek saya. Ibu saya adalah anak nenek saya dengan suaminya yang terdahulu. Namun demikian, ibu saya tidak pernah mengenal ayah kandungnya. Nenek saya bercerai pada pernikahan pertamanya ketika ibu saya belum satu tahun. Tak berapa lama, kakek asli saya tersebut meninggal, sehingga ibu saya tidak pernah melihat wajah ayah kandungnya sekali pun.

Kebaikan pertama adalah warisan untuk ibu saya. Rumah kakek nenek saya agak masuk ke desa. Kakek punya sebidang tanah di wilayah yang agak ramai. Tanah tersebut diberikan pada ibu saya, yang sekarang menjadi lokasi rumah kami. Dalam hal ini, kakek saya pernah diprotes saudara-saudaranya tentang kenapa tanah tersebut diberikan pada ibu saya, bukannya anak-anak kandungnya saja. Namun kata ibu, kakek tidak pernah membeda-bedakan sekalipun antara ibu dan tante-tante saya.

Kedua, kakek saya berkontribusi besar terhadap pendidikan ibu saya hingga ibu saya berkarir seperti ini. Dulu ibu saya dilamar seseorang yang entah siapa, saya kurang paham. Lamaran tersebut datang ketika ibu saya lulus SMP. Namun demikian, ibu saya mengatakan pada kakek bahwa dia ingin sekolah. Akhirnya kakek mengabulkan keinginan ibu. Kakek saya sampai rela bekerja di sawah orang kaya di desa tersebut untuk menambah biaya sekolah ibu. Ketika ibu melamar pekerjaan pun, kakek saya ikut wira-wiri ke surabaya untuk memenuhi persyaratan. Dengan demikian, kakek saya secara tidak langsung berkontribusi terhadap pencapaian saya sekarang. Ibu saya tidak jadi menikah dini dengan entahlah. Ibu saya akhirnya berjodoh dengan ayah saya yang merupakan anak orang kaya di desa tersebut.

Kenangan saya dengan kakek cukup banyak. Kakek saya adalah orang yang dengan senyum ceria penuh sayang menolong saya bangun di pagi hari pertama saya punya adik. Saya punya adik ketika berumur 4 tahun, sehingga kondisi ini membuat perhatian orang tua terhadap saya yang masih balita berkurang. Kakek saya semacam orang yang melindungi saya dari kondisi ini.

Banyak hal-hal lain. Entah kenapa yang terlintas dalam benak saya adalah kejadian suatu malam ketika saya, nenek, dan kakek pulang dari pernikahan kerabat. Sebenarnya orang tua saya juga ikut. Kemudian kakek nenek mampir ke rumah kami dan membawa daun pintu dari rumah saya. Mungkin dipesan sebelumnya dari tukang dan diletakkan di rumah saya dulu. Saya ikut kakek nenek untuk menginap. Kami jalan kaki ke rumah joglo nenek. Jaraknya cukup jauh melewati sawah, jembatan, dan jalan pinggir sungai. Kami berjalan dengan canda tawa. Nenek saya menggendong anyaman bambu berisi oleh-oleh pernikahan. Kakek saya menyunggi daun pintu. Di tengah jalan, nenek saya merasa capek dan keberatan akan gendongannya. Kemudian, kakek saya menyuruh nenek meletakkan anyaman bambu tersebut di atas daun pintu yang disunggi kakek. Pasti lebih berat, tapi kakek saya bertahan membawa beban tersebut sampai rumah. Kini saya berpikir, kalau tidak sayang, mana mau kakek saya melakukan itu. Oleh karenanya, saya akan menikah dengan orang yang menyayangi saya.

Pernah suatu ketika ketika saya SD, kakek saya jatuh dari sepeda. Jatuhnya cukup parah karena rem blong di jalan turunan, dan kepalanya membentur pagar tembok sebuah rumah. Kakek harus dilarikan ke rumah sakit dan dioperasi. Saya ingat betul, saya menemani nenek saat itu di rumah. Dia tidak ikut ke rumah sakit. Entah apa yang dipikirkan nenek, dia kok malah mencuci piring di sumur. Karena khawatir, saya mengikutinya dan menungguinya di sumur seperti orang kurang kerjaan. Saya tidak berani mengatakan sepatah pun, takut salah ngomong. Lalu nenek mulai terisak. Dia tau saya di situ. Dia kemudian mengatakan semoga kakek selamat sambil tersedu. Lukanya memang sangat parah di kepala, sampai kakek tak sadarkan diri. Nenek tersedu, kemudian curhat ke saya. Dibandingkan suaminya yang pertama, kakek saya ini lebih ngertiin nenek ke mana-mana. Kakek mau diajak diskusi, merintis usaha bersama dan membesarkan anak-anak. Intinya mau diajak omongan dan mendengarkan pendapat nenek. Suaminya yang pertama, boro-boro. Selalu memaksakan kehendak.

Nenek menikah dua kali bukan karena salah dia. Dia menikah karena disuruh ibunya yaitu nenek buyut saya yang saya masih kenal baik dengan dia sampai saya SMP. Setelah saya SMP kelas 3, dia baru meninggal. Saya akan ceritakan tentang dia di kemudian hari, karena dia juga spesial di hati saya. Nenek saya manut saja ketika disuruh menikah. Dia tidak punya pilihan. Suaminya pun juga pilihan nenek buyut. Suami pertama didatangkan dari desa yang agak jauh, Desa Pupus. Kata ibu, semua keluarga menantu nenek buyut saya memiliki kuda putih, kecuali keluarga kakek saya ini. "Lha kok sangar rek!", batin saya. Mungkin nenek buyut men-screening orang-orang kaya di penjuru kecamatan untuk dijadikan besan. Kenalan nenek buyut banyak karena dia seorang pedagang. Nah, karena dipilihkan nenek buyut ini, suami pertamanya gak cocok. Ya memang gak jodo.

Suami kedua yaitu kakek saya juga dipilihkan nenek buyut sebenarnya, tapi Alhamdulillah, suami kedua ini cocok dengan nenek. Pengertian, mau diajak diskusi, dan sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Baiknya minta ampun. Kebaikannya dapat dirasakan baik nenek, anak-anaknya, cucu-cucunya, dan para tetangga.

Oh iya, ada kenangan manis saya tentang kakek. elahh, kenangan manis. Di depan rumah joglo mereka terdapat pohon jambu air. Suatu ketika, jambu air sudah pada matang, warnanya merah-merah. Karena buahnya lebat, kakek memutuskan untuk menjualnya dengan menitipkan ke adiknya yang jualan di sekolah depan rumah saya. Kakek memanjat sendiri pohon jambu air tersebut. Di bawah pohon, digelarlah layar yang biasanya untuk menjemur padi. Para tetangga menunggu di bawah pohon. Kakek saya membawa kresek besar di atas pohon. Sesekali kakek memasukkan buah jambu ke kresek, sesekali kakek menjatuhkan gerombolan buah jambu air ke bawah, di atas layar. Para tetangga berebutan mengambili buah jambu tersebut. Sore itu sangat ramai dan menyenangkan. Penuh tawa, saya sampai ngakak, berebutan, dan kekenyangan jambu air.

Kakek saya unik juga. Dia terbiasa mengenakan baju batik dan topi mirip koboi kalau pergi ke mana-mana. Suatu hari dia cerita ke saya bahwa hari sebelumnya dia pergi ke Telaga Sarangan sendirian. ebuset, lha kok ngiwut, kata saya dalam hati. Waktu kutanya emang ngapain ke sana, dia bilang dia ingin refreshing dan piknik aja. Dia jalan ke tempat angkot, terus naik angkot sendiri. Nyampai Sarangan, dia jalan mengelilingi telaga sendiri, sambil menikmati keindahan alam. Kenapa nenek gak diajak? Karena nenek gak terlalu suka piknik-piknikan. Suatu ketika saya SD saya teringat cerita kakek ini dan terinspirasi. Saya mengemasi bekal dalam ransel dan memakai jeans serta jaket. Saya selalu punya uang simpanan hasil angpao lebaran. Saya sudah bersiap berangkat, namun ketika nyampai teras, ibu saya memarahi saya. Ngapain ke sarangan sendiri kayak orang hilang katanya. haha. Waktu dewasa, saya selalu ingat cerita ini, sehingga kadang saya pergi piknik sendiri kalau sendang penat.

Kakek saya sekarang sudah tua. Kemampuan penglihatannya juga sudah berkurang, sehingga dia hanya di rumah saja. Katanya dia khawatir dianggap sombong ketika tidak menyapa orang, padahal memang dia tidak melihat. Saya sedih atas hal ini. Bahkan ke teras saja dia terkendala kondisi tadi. Takutnya ada orang lewat dan dia gak bisa lihat sehingga gak nyapa. Dia di rumah saja.

Kakek saya shalat lima waktu, setahu saya tidak pernah absen. Ketika saya pulang kemarin, saya ke rumah nenek saya. Saat itu sore. Seusai shalat Ashar, saya sok ngelamun memandang ke arah luar jendela ruang shalat. Sebelah ruangan itu adalah kamar kakek saya. Dia habis shalat juga rupanya. Dia melafalkan Dzikir dan do'a-do'a dengan keras. Yaudah saya dengerin aja sambil melihat pemandangan dari jendela. Namun demikian, saya terkejut, di tengah do'anya kakek menyebut nama saya dan adik-adik sepupu saya. Serius, saat itu saya ingin menitikkan air mata. Dia sebut nama kami satu per satu. Semoga diperlancar dalam rezeki, pekerjaan, sekolah, dan jodoh. Intinya do'a yang terbaik buat kami. Ya Allah, kakek, terlepas dari kenangan lucu masa kecil, di masa tua yang sudah tak sesehat dulu dia selalu mendoakan saya dan adik-adik sepupu saya. Ingin rasanya kupeluk saat itu juga, tapi saya sedang kerepotan menghapus air mata dan kakek sedang khusuk berdo'a. Saya kemudian berpikir, segala keberuntungan, beasiswa, sekolah, dan pekerjaan yang selama ini saya dapatkan adalah berkat do'a orang-orang yang menyayangi saya. Terimakasih banya, Kek.

Paragraf penutup. Sering ketika saya di rumah nenek, saya melihat nenek membuatkan kopi pagi dan sore untuk kakek. Nenek menawari saya mau dibuatkan minuman apa, tapi saya tidak suka minuman yang manis-manis. Hal itu menunjukkan keromantisan mereka berdua. Romantis walau hanya dalam segelas kopi. Pernah dulu saya menulis status. Dulu sekali sekitar tahun 2012, saya menulis bahwa saya tidak ingin mendapatkan kisah romantis romeo dan juliet. Saya ingin mendapat rumah tangga romantis seperti kakek dan nenek saya. Mendapatkan laki-laki sebaik kakek saya.

Malang, 23 Mei 2017.

Pernikahan

Kata orang, kalau kita memvisualisasikan sesuatu dengan jelas dan detail, hal tersebut akan segera terwujud. Kali ini saya akan memvisualisasikan pernikahan saya.

Saya menikah dengan laki-laki baik yang sangat mencintai saya. Pun saya juga mencintai dia. Sesuai dengan ajaran agama untuk memilih pasangan, laki-laki yang saya pilih ini bertaqwa kepada Allah SWT, sehingga menjadi imam yang baik untuk saya. Dia memiliki harta yang cukup untuk membiayai rumah tangga kami. Dia juga memiliki wajah yang tampan. Dia berasal dari keturunan yang baik. Laki-laki ini bisa memahami saya. Dia punya kecerdasan yang tinggi, namun demikian selalu rendah hati dengan kecerdasan yang dia miliki. Dia menggunakan kecerdasan itu untuk kontribusi lingkungan, bangsa, negara, dan menghadapi hal-hal biasa di sekitarnya. Menghadapi orang dari berbagai kalangan, baik yang cerdas seperti dia, maupun yang biasa saja. Hal tersebutlah yang membuat kami saling memahami. Apabila ada hal yang tidak sejalan, selalu kami bicarakan hingga menemukan penyelesaian. Dalam hal ini, dia tidak dominan. Meskipun dia cerdas, dia tidak menganggap dirinya paling benar. Dia selalu mendengarkan pendapat saya dan "menempatkan diri di sepatu saya" untuk memahami apa yang saya rasakan dan pikirkan. Sayapun juga demikian terhadapnya.

Pesta pernikahan kami diselenggarakan di rumah saya pada Bulan Agustus 2017. Tidak benar-benar di rumah sepenuhnya sih ya. Saya meminjam lapangan sekolah di depan rumah saya untuk memasang dekor pernikahan. Kursi tamu pun juga ditata di lapangan tersebut. Ada tenda berwarna biru yang menaunginya. Saya mengenakan jilbab dan baju berwarna peach. Baju Muslim pesta yang unik dan klasik. Baju mempelai pria berwarna hitam. Ada bunga-bungan Melati dan Kanthil menghiasi jilbab saya. Dekor bermaterial kayu, berwarna hitam. Terdapat janur di sisi kiri dan kanan dengan bunga-bunga indah menghiasi dekor janur.

Makanan pesta seperti layaknya di desa saya. Pertama, nasi dengan daging lapis, kemudian sop, dan terakhir es podeng. Saya ingin mempertahankan makanan pesta yang sudah saya temui sejak kecil di desa saya. Selain itu juga terdapat snack denga isian kacang bawang, kue gulung rasa moca, lemper, dan aqua gelas.

Saya memberikan suvenir untuk tamu-tamu undangan saya. Seperti yang sudah saya rencanakan sejak zaman dahulu, suvenir pernikahan saya adalah bibit pohon. Pohon yang saya jadikan suvenir adalah pohon buah-buahan. Alasannya adalah, supaya pohon tersebut ditanam. Tidak dipungkiri, tidak semua orang suka menanam pohon. Apabila pohon buah, kemungkinan akan ditanam karena mempertimbangkan buah yang bisa dipetik setiap musim. Tujuan saya menjadikan bibit pohon sebagai suvenir adalah supaya pernikahan kami berkontribusi untuk lingkungan. Dalam waktu-waktu yang kami lalui dalam pernikahan kami, pohon-pohon tersebut terus tumbuh, menyumbang oksigen, memberikan keteduhan, dan menyumbang buah-buahan.

Setelah pesta pernikahan, saya ngapain ya, tau lah ya -> makan makanan pesta yang sengaja disimpan untuk saya dan suami saya. Maklum, tadi pas di pelaminan hanya makan nasi kuning pas suap-suapan. Masih lapar deh.

Saya ikut suami saya di kota tempat dia bekerja setelah saya menikah. Kotanya sangat menyenangkan. Saya mendapat pekerjaan yang saya sukai. Kami juga berkesempatan untuk melanjutkan sekolah di luar negeri bersama-sama. Seperti yang saya sering tulis dulu, ternyata hal tersebut jadi kenyataan. Saya hamil dan melahirkan di Eropa. Kami saling bantu dalam mengurus anak, mengurus rumah tangga, dan mengurus akademis. Sepulangs sekolah, kami meniti karir masing-masing. Namun demikian, anak kami tetap terawat dengan baik dengan pendidikan baik. Dia pun dapat mencapai cita-citanya. Anak saya satu saja. Maksimal dua. Hal tersebut mempertimbangkan peningkatan pertumbuhan penduduk tak terkendali. Pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan konsumsi bahan pangan dan energi. Keluarga kami sangat perhatian terhadap lingkungan.

Demikian visualisasi pernikahan saya.

Malang, 23 Mei 2017.