Minggu, 20 November 2016

Just Another Phase on Your Way to Grave

Dalam salah satu scene film Spectre diperlihatkan James Bond sedang dalam kondisi terikat di kursi serta menghadapi ancaman dari musuhnya, Erns Stavro Blofeld yang akan menyuntikkan suatu zat pada Bond. Di ruangan itu juga terdapat Dr. Madeleine Swann, seorang psikolog yang juga merupakan orang spesial Bond. Zat kimia tadi bila disuntikkan sampai level tertentu akan menyebabkan Bond lupa ingatan. Bahkan, dia akan lupa pada Madeleine yang merupakan orang yang dicintainya. Blofeld mengatakan tentang Madeleine bahwa pasca penyuntikan zat kimia, "She is just another phase on your way to grave". Benar-benar tidak berarti, hanya orang biasa, dan hanya sepenggal kisah biasa dalam perjalanan hidup Bond menuju ke kuburan. Padahal Madeleine adalah orang yang sangat berarti buat Bond.

Tentang orang yang berarti, kira-kira siapa yang pantas kita anugerahi predikat sebagai orang yang berarti untuk kita? Keluarga, sahabat, guru, orang yang berjasa pada kita, atau cowok-cowok tertentu? Saya pikir ada dua alasan kenapa kita menganugerahi predikat orang berarti dalam hidup kita. Pertama alasan natural, kedua alasan keputusan. 

Natural jika kita dan orang bersangkutan saling menyayangi tanpa syarat. Sudah alami, tidak tahu kenapa. Kita menganggap orang tersebut diri kita sendiri. Bila dia senang, kita akan senang. Bila dia sedih, kita akan sedih. Kita menganggap kesulitan dan resiko yang menghampirinya sebagai kekhawatiran kita. Benar-benar tidak rela bila orang tersebut kesusahan. Predikat ini biasanya kita anugerahkan pada keluarga terdekat dan sahabat. Sahabat saya pernah rela jauh-jauh dari UGM ke UMY naik bis untuk mengurus persyaratan kuliah saya saat saya tidak berada di Yogya. Mengurus segala sesuatunya dengan detail. Pernah juga hujan-hujanan naik bis datang ke wisudaan saya. Saya juga tidak rela bila anggota keluarga dan sahabat-sahabat saya mengalami kesulitan. Sebisa mungkin saya akan melakukan berbagai upaya agar kesulitan tersebut dapat dihindari.

Keputusan, bila kita menganggap orang tersebut berarti karena kita memutuskan menganggap orang tersebut berarti. Mungkin saja dia adalah orang penting yang terkait dengan karir atau kehidupan akademik kita, orang yang berjasa pada kita, orang yang banyak membantu kita, dan yang paling bahaya adalah gebetan kita. Kadang keputusan memberi predikat orang berarti pada yang saya sebutkan terakhir tadi bisa membawa kita ke lembah nista.

Saya mengamati orang-orang rentan terpuruk karena keputusan orang berarti tadi. Tidak jarang orang-orang menjadi galau karenanya. Lebih sedihnya lagi, kegalauan mereka menjadi bagian hidup mereka, diumbar setiap hari, seolah-olah masalah besar di dunia ini adalah perasaan mereka yang kacau. Padahal, banyak di luar sana masalah kemiskinan, kelaparan, konflik, kekeringan, penyakit, dan lain-lain. Kondisi ini menurut saya mengurangi kapasitas mereka untuk menjadi produktif. Coba kalau dipikir ulang, memangnya siapa sih yang membuat mereka galau itu? Orang kan? Orang biasa yang mereka putuskan untuk menjadi berarti. Lalu kenapa dipusingkan bila tidak bisa menjadi saling berarti? Dalam sebuah film India yang saya lupa judulnya, tokoh perempuan bilang, "Saya tidak bisa hidup tanpamu". Kemudian tokoh laki-laki menanggapi, "Sebelum kamu kenal saya, bukankah kamu hidup? Kamu menjalani hari seperti biasa dan sehat-sehat saja?". Benar sekali, untuk hidup, yang kita butuhkan paling utama sebenarnya adalah oksigen, makanan, dan minuman. Lalu kenapa sesak nafas bila ditinggal orang berarti karena keputusan?

Masih ingat obat hati? Sebenarnya tidak usah khawatir bila kita menderita sakit qalbu karena sudah disediakan obatnya. Salah satunya adalah Qur'an. Dalam ajaran Islam, kita diperintahkan untuk ikhlas. Apalah kita ini menuntut sesuatu yang tidak kita ikhlaskan pada pemberi hidup. Ternyata ikhlas ini adalah salah satu kunci dalam kehidupan. Pernah di Masjid Keraton Yogyakarta saya mendengar Kultum tentang salah satu kunci dikabulkannya do'a. Kuncinya adalah khusuk. Bagaimana kita bisa khusuk bila kita tidak ikhlas? Hati dan pikiran kita akan kacau, frekuensi keinginan kita akan kacau sehingga tidak stabil di alam semesta. Sulit untuk sampai. Kita memaksa Tuhan mengabulkan keinginan kita. Sangat kacau. Tidak bisa khusuk. Bila kita ikhlas, kita tidak akan menderita bila kita ditinggal oleh orang yang kita anggap berarti.

Lebih lanjut, apapun yang kita miliki di dunia ini bukanlah mutlak milik kita, hanya titipan Yang Maha Kuasa. Diumpamakan penjaga parkir di sebuah mall. Di wilayahnya dia menguasai banyak mobil dan motor, namun dia tidak boleh sedih bila kendaran-kendaraan tersebut dibawa pulang kembali oleh pemiliknya. Dari awal memang itu bukan milik si penjaga parkir. Pasca menyadari ini, saya pernah kejambretan tab yang sangat mahal. Harganya senilai 2 bulan keseluruhan uang saku beasiswa saya. Dijambret di depan mata. Teman saya yang cowok pada saat itu berlari mengejar jambret yang naik motor. Tentu saja tidak mungkin dapat. Saya langsung mengajak teman-teman saya ke kedai Cikini untuk makan sesuai tujuan awal kami. Teman-teman saya bingung, kok saya tidak sedih sama sekali. Saya sudah menyadari bahwa apapun milik kita bukanlah milik kita. Bila sudah hilang, harusnya diikhlaskan.

Tidak perlu menautkan hati kita kuat-kuat pada orang yang kita putuskan beri predikat berarti. Orang-orang yang lalu lalang di kehidupan kita mungkin saja sama seperti orang yang kita temui di kereta, kita temui di mall, kita temui di tempat wisata. Kenapa kita sebegitu hebatnya menjadikan orang tertentu berarti buat kita? Smart person will directly move on when he or she knows he or she is unwanted. May be our meeting with certain person is just another phase on our way to grave.

Jumat, 18 November 2016

Not a Big Deal Part 2

Pagi ini tiba-tiba saya melihat postingan langka dari senior saya di teater. Iya, langka, karena orang ini hampir tidak pernah muncul di sosmed. Dia adalah senior saya baik di teater maupun di jurusan. Postingannya pagi ini adalah share pertunjukan teaternya di Jepang. Selain hari ini, saya kadang melihat orang ini di tag dalam postingan orang lain terkait pertunjukan teaternya di Australia dan di negara-negara Eropa. Saya sempat menyimpulkan sebentar bahwa orang harus memilih salah satu untuk ditekuni dan terjun total di dalamnya. Pemikiran itu muncul setelah saya melihat senior saya tersebut yang saat ini telah menjadi aktor teater profesional di sebuah teater paling ternama di salah satu kota budaya di Indonesia. Selain pentas di berbagai negara, dia juga pernah saya lihat main film karya salah satu sutradara paling terkenal di Indonesia. Terjun total yang mengantarkan sukses besar ini dibayar dengan mengorbankan sekolah. Bukan mengorbankan mungkin, tapi pilihan. Dia tidak melanjutkan sekolah lagi sejak sibuk di teater.

Pemikiran memilih salah satu untuk kesuksesan tadi hanya mampir sebentar di otak saya. Kemudian saya teringat pesan orang-orang founding father teater ternama itu yang disampaikan pada teman saya. Teman saya ini juga merupakan salah satu aktor dalam teater tersebut. Kebetulan teman ini menceritakan pesan itu pada saya. Mereka mengatakan bahwa apapun yang terjadi, menyelesaikan sekolah itu penting. Apapun pencapaian sesuai passion kita, menyelesaikan sekolah itu seharusnya tetap harus dilakukan.

Ada banyak alasan yang membuat saya setuju dengan hal tersebut. Pertama, mungkin ini adalah alasan yang paling dangkal, kalau kita menyelesaikan sekolah, kita akan punya ijazah dan gelar. Saya pikir ini pasti ada manfaatnya dalam kehidupan kita. Kedua, mempertimbangkan sayangnya waktu dan biaya yang sudah ditempuh dan dihabiskan untuk sekolah sampai memutuskan give up. Saya pikir sayang rasanya untuk tidak melanjutkan bila mengingat bagaimana usaha kita dari awal sekolah, waktu yang dilalui dan uang yang dibayarkan, padahal melanjutkan cuma butuh alokasi waktu yang cukup cepat dan sedikit lagi bila bersungguh-sungguh. Ketiga, saya jadi ingat salah satu bagian di buku tulisan kakak kelas saya waktu S2, di situ dikatakan apapun pilihan karir kita nanti, bila kita sudah dapat menulis tugas akhir dengan baik, benar, dan sistematis (tentu saja menyelesaikannya ya), kita akan dapat menyelesaikan pekerjaan dan berbagai masalah baik dalam karir dan kehidupan pasca sekolah dengan lebih baik. Pun dalam hal menyikapi hidup menurut saya. Hal tersebut dipengaruhi oleh cara berpikir kita yang sudah sistematis dan logis dalam menyelesaikan tugas akhir tadi. Kemudian saya teringat salah satu roman Pram, Bumi Manusia. Di salah satu bagiannya, diceritakan Raden Mas Minke, tokoh utama roman tersebut sedang dalam kesulitan menyelesaikan sekolah. Kusir kereta kuda yang sedang mengantarnya bertanya buat apa melanjutkan sekolah bila sekarang dia sudah hidup berkecukupan. Minke mengatakan bila dia tidak lulus sekolah, rasanya dia tidak lulus dalam hal-hal lain dalam kehidupan. Saya pikir ini dapat dijelaskan dengan pemikiran kakak kelas saya dalam bukunya tadi.

Lebih lanjut, menyelesaikan sekolah menurut saya bukan perkara besar. Lagi-lagi it's not a big deal. Dibandingkan upaya untuk mencapai hal besar di luar sekolah tadi, pergi ke sekolah menurut saya bukan hal berat. Kita tinggal mengambil kelas-kelas yang harus dipenuhi dan menyelesaikan tugas akhir. Bagaimana dengan tugas akhir ini? Teman saya pernah bilang kalau sudah menyelesaikan tugas akhir, kemungkinan besar akan berpikir, "Oalah, ternyata cuma gitu doang". Dan memang benar menurut saya. Setelah berpusing-pusing, kadang bingung dengan topik tulisan kita, setelah berbagai upaya bimbingan dan penulisan, kita biasanya akan menemukan celahnya, biasanya sangat simpel dan membuat kita berkata, "Ternyata cuma gitu doang".

Sahabat terbaik saya pernah mengatakan, "If you want to master something, you have to teach it". Hal tersebut dikatakannya setelah saya menanyakan bagaimana bisa salah satu temannya memiliki gaya Bahasa Inggris yang smooth, tidak kaku pokok grammar bener, dan tidak gaya Inggris Indonesia. Ternyata dia bisa seperti itu karena dia pernah mengajar di salah satu Bimbel B.Inggris. Saya setuju dengan pendapat teman saya. Setelah saya membimbing skripsi mahasiswa, saya pikir saya jadi menguasai dengan baik penulisan tugas akhir. Ini membuat saya tambah berpikir lagi tentang "Oalah, ternyata cuma gitu doang". Dalam satu waktu saya berkewajiban memikirkan banyak sekali skripsi mahasiswa saya dan membimbing arah tujuan hidup tugas akhir ini mau dibawa ke mana. Serius, ini bukan masalah besar. Untuk orang-orang besar yang sudah malang melintang di dunia luar sekolah, saya pikir menulis tugas akhir ini merupakan pekerjaan yang seharusnya sangat biasa. Mungkin ini harus diluagkan seperti diumpamakan sarapan dulu sebelum beraktivitas pagi. Kalau tidak sarapan, nanti sakit perut, nanti lemes, nanti ngantuk, tidak ada asupan nutrisi untuk otak dan tubuh untuk melakukan aktivitas. Sarapan ini sangat effortless, cepat saja, seperti namanya "breakfast". Menyelesaikan sekolah yang tinggal sedikit lagi menurut saya bukan masalah yang besar.

Malang, 20 November 2016.

Not a Big Deal

Pernah mengalami masa di mana saya menginginkan sesuatu sebegitu hebatnya dan meminta dengan sungguh pada Tuhan. Saya meminta dan memaksa. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana hidup saya bila keinginan saya tersebut tidak dikabulkan. Rasanya seperti jatuh ke jurang yang dalam, mencekam, gelap gulita, hampir tak berujung, dan tidak tau apa yang menanti saya di bawah sana. Itulah kenapa saya memaksa Tuhan untuk mengabulkan doa saya karena saya tidak dapat membayangkan kacaunya hidup saya bila doa tersebut tidak terkabulkan.

Dalam salah satu masa penuh usaha dan penuh harap, ibu saya yang sangat saya sayangi bermimpi bahwa sandal saya hilang. Ibu saya berpikir mungkin ini pertanda bahwa saya tidak berhasil mendapat apa yang saya perjuangkan pada saat itu. Ternyata benar saja, saya memang tidak mendapatkannya.

Setelah dari pagi sampai malam beraktivitas, saya baru ingat bahwa tadi malam saya bermimpi mengikuti suatu beauty pageant. Saya mempersiapkan diri dengan baik. Mempelajari materi dengan baik, make up wajah dan rambut bagus, serta baju yang saya gunakan sudah sempurna. Namun demikian, saya kesulitan menemukan sandal saya, padahal saya ingat betul saya sudah membeli sandal yang sangat indah, heel 14 cm sesuai yang disyaratkan. Saya mencari di penjuru rumah. Saya hanya menemukan 1 sisi sandal, itu pun bukan yang saya maksudkan, kondisinya sudah jelek. Di tempat lain juga, saya hanya menemukan satu sisi sandal yang tidak saya inginkan. Kemudian di rak sepatu, saya menemukan wedges saya, lengkap sepasang, namun bukan wedges yang harusnya dipakai untuk beauty peagant. Wedges itu sangat bagus dan kondisinya juga layak, namun bukan itu yang saya cari. Mimpi saya cuma sampai di situ.

Kemudian saya berpikir, apakah mimpi itu sama dengan mimpi ibu saya yang merupakan pertanda saya akan kehilangan apa yang saya perjuangkan? Hal tersebut sepenuhnya hak mutlak dan misteri dari pemberi hidup. Namun demikian, apabila memang iya, kondisi saya sudah jauh berbeda dengan dulu. Apakah hidup saya hancur ketika saya tidak mendapatkan yang saya upayakan dulu? Ternyata tidak. Saya masih hidup sehat wal afiat, berkecukupan, layak, dan cantik. Ternyata terjun ke jurang yang menakutkan, gelap gulita, tidak tau apa yang menanti saya di bawah sana tidak seburuk yang saya bayangkan. Ternyata di dasar jurang yang gelap itu terdapat matras dan hal-hal yang menyenangkan seperti permen.

    Meminjam poster publikasi yang mirip dengan bayangan saya



Tidak mendapatkan hal yang kita upayakan itu bukanlah masalah besar bagi hidup kita. Apabila mimpi saya tadi toh ternyata pertanda untuk kehilangan suatu yang diharapkan, itu adalah hal yang harus diikhlaskan. It's not a big deal. Sesuai dengan fitrah saya sebagai manusia, saya hanya bertugas menjalani skenario yang telah dituliskan oleh Tuhan. Apapun yang digariskan untuk saya, sudah sebaiknya untuk diterima dan dijalani. Dengan demikian, kehidupan akan terasa menyenangkan karena selalu bersyukur. Menjalani hidup yang nerimo dan menikmati apapun yang diberikan untuk saya. Usaha sekuat tenaga sudah pasti, namun apapun yang diberikan pada saya sudah saya ikhlaskan dan pasrahkan pada Tuhan. Saya percaya apapun yang kita anggap sebagai suatu masalah sebenarnya bukanlah hal besar dalam hidup bila kita ikhlas. Bila takut akan jurang yang curam dan gelap gulita, yakinlah, di bawah sana ada matras yang mengamankan kita dan snack-snack yang menyenangkan kita. Hidup kita akan tetap baik-baik saja.

Malang, 18 November 2016.

Sabtu, 12 November 2016

I'll Find Your Professor

Beberapa tahun lalu dikasih tau film indie oleh teman judulnya Fiksi. Film tersebut menceritakan tentang seorang penulis fiksi amatir yang tiba-tiba menyadari bahwa apa yang ditulisnya menjadi kenyataan. Tentang bagaimana cara tulisannya menjadi kenyataan mungkin bisa tonton sendiri filmnya ya. Terkait dengan ini, belakangan aku menyadari bahwa ada salah satu tulisanku yang mirip dengan kenyataan yang aku alami. Tulisan itu adalah naskah film pendek tugas kelas Speaking. Saat itu dosen speaking menjadikan tugas film ini sebagai tugas akhir kelas kami. Sebelumnya saya tidak menyadari tentang kemiripan ini. Beberapa bulan setelah saya menulis naskah itu dan memainkannya dalam film pendek, saya dipertemukan dengan orang yang karakteristiknya mirip tokoh naskah, salah satu scene kejadian detailnya, dan jalan ceritanya sangat mirip dengan naskah tersebut. Setelah kemarin menemukan lagi naskah tersebut di laptop lama saya, saya menyadari hal ini. Kemudian berpikir, kalau hal yang saya tulis bisa menjadi kenyataan (udah pasti kebetulan lah ya), kenapa saya tidak menulis cerita yang happy ending saja. Mungkin saya akan benar-benar menulisnya di waktu luang saya. Namun demikian, saya belum tau akan menulis cerita yang seperti apa. Saya sudah lama tidak menulis fiksi. Kemungkinan ide kreatif saya sudah terkikis. Saya belum tau tokoh ideal seperti apa yang sebaiknya saya tulis, cerita indah happy ending seperti apa yang seharusnya saya tulis.

Beberapa waktu lalu saya mewajibkan diri saya untuk menonton film Inferno sebab saya adalah fans novel-novelnya Dan Brown. Teman yang sama yang memberikan film Fiksi pada saya adalah orang yang meminjamkan novel Da Vinci Code dan Angel and Demon pada saya. Saya pikir saya wajib menonton cerita Profesor Langdon dalam Inferno yang saya tidak sempat membaca novelnya.

Menonton Inferno mengingatkan saya pada satu hal. Oh iya, tenang saja, saya usahakan tulisan ini tidak spoiler filmnya buat yg blm nonton ya. Oke, lanjut. Saya ingat ketika saya punya pilihan antara pejabat atau akademisi. Salah satu teman saya, Novita, dengan tegas menyuruh saya memilih akademisi. Pertimbangannya, pemikirannya lebih dalam dan nanti anak-anak saya akan dididik dengan baik dalam lingkungan pemikiran akademisi. Tentang pejabat dan akademisi ini saat ini mungkin menjadi orang-orang yang telah hilang dari kehidupan saya karena saya terlalu banyak dan lama berpikir. Setelah menonton Inferno, mungkin saya akan menulis tentang akademisi saja untuk cerita fiksi saya.

Terlepas dari cerita intinya yang tidak boleh dibocorkan, pada salah satu scene Prof. Langdon yang merupakan dosen Harvard duduk di teras kampusnya sambil membaca buku ketika dr.Sinsley yang merupakan Sekjen WHO datang meminta bantuannya untuk memecahkan kasus. Dalam scene lain, dr.Sinsley berada di Bandara di Roma, meminta petugas membatalkan penerbangan agar dapat memeriksa penumpang yang akan pergi ke Genewa. Dia berpikir Langdon ada di situ. Kemudian datang tokoh lain yang merupakan pimpinan agen penyedia jasa keamanan swasta mengatakan bahwa Langdon tidak di pesawat itu, melainkan dalam perjalanan kereta menuju Hagia Sophia. Dr. Sinsley tidak percaya pada orang tersebut yang sebelumnya bertindak bertolak belakang mendukung tersangka kasusnya. Namun demikian, orang tersebut meyakinkan dia sudah berubah. Selain itu, dr.Sinsley harus mencoba percaya padanya jika ingin menemukan Langdon. Dia bilang dia melihat ada perhatian khusus dr.Sinsley pada Langdon terlepas dari upaya menemukan Langdon untuk kasus ini. Dia pasti khawatir terhadap profesor. "You have to trust me. I'll find your professor". Your professor.

Menang benar, ternyata Langdon dan Elizabeth Sinsley adalah teman lama. Mereka memiliki potensi untuk hidup bersama di masa lalu namun tidak terjadi karena keduanya memilih impian masing-masing. Langdon tidak mungkin melepas kehidupannya di Harvard dan Sinsley tidak mungkin melepas mimpinya berkarir di Genewa. Namun demikian, karena kehebatan akting Tom hanks dan pemeran Sinsley, dapat dirasakan ketikan scene Sinsley menemui Langdong di Harvard, masih ada perasaan mendalam di antara mereka yang tersimpan bertahun-tahun sampai mereka tua. Mereka berdua sama-sama tidak menikah. Ada scene lagi di pinggir jalan di mana Langdon mempertanyakan kemungkinan di antara mereka, namun Langdong kemudian tiba-tiba diculik penjahat. Di akhir, saat mereka duduk berdua, staf dr.Sinsley memanggilnya. What's now? Kembali ke hidup masing-masing, Langdon ke Boston dan Sinsley ke Genewa. Seperti Dante dan Beatrice, mereka tidak akan pernah bersatu meskipun saling mencintai.

Jadi inget lagi salah satu temenku, Riris, pernah nonton FTV bareng karena gak ada pilihan lain. Dia mengomentari terus ceritanya. Ya namanya juga film Ris. "Tinggal sama ibu pantinya tadi lak ya enak seh", itu kira-kira salah satu komentarnya. Sama seperti Riris, aku juga mau komentar, Langdon sama Sinsley tetep nikah dan LDR lak ya bisa seh. Haha, entah gak ngerti gimana kenungkinannya, kan gak ngerti juga kesibukan dosen Harvard dan Sekjen PBB kayak gimana.

Cerita yang mungkin kutulis, mempertimbangkan banyak hal, sepertinya tokoh utamanya akan meraih cita-citanya. Melihat dunia yang luas dengan karir terbaik semampu dia bisa. Apakah saya harus menemukan profesor untuk cerita saya? Saya pikir dulu dengan berbagai pertimbangan. Apakah bisa profesor dan karir yang saya inginkan bisa sejalan. Bisa menurut saya. Saya belum tau cerita fiksi saya mau dibawa ke mana. Untuk tokoh saya, I'll find your professor. May be.

Malang, 12 November 2016.

Quand J'étais Petit

Karena sedikit flu, tadi ketiduran sore-sore. Mimpi tentang tempat-tempat masa kecil. Tentang rumah joglo nenek, tentang makanan favorit, dan pasar tradisional terdekat, tentang tante, sepupu, dan kakek.

Kemudian terbangun dan merindukannya. Sudah jauh sekali ya. Tidak terasa, sepertinya baru kemarin masa-masa kecil itu. Bahkan aku ingat jelas, seperti baru kemarin ketika aku masih tinggal di rumah joglo nenek yang berarti sudah lama sekali, ketika orang tuaku belum punya rumah sendiri. Ketika masih balita, aku membuntuti ibukku yang pergi ke samping rumah joglo untuk memetik sayuran. Kami harus melewati parit kecil yang jernih airnya. Aku ikut-ikutan ibukku memetik daun-daunan. Kata ibukku, "Bukan yang seperti itu. Petik yang muda!". Aku tidak mengerti dan asal memetik saja. Kemudian ibukku menunjukkan contohnya, "Yang seperti ini lho", memperlihatkan pucuk sayuran.

Iya, sepertinya baru kemarin.

Ibukku adalah orang yang multi talenta. Dia bisa menyanyi, membaca not, menari, menjahit, memotong rambut, make up, dan masih banyak lagi. Kenangan balita lain adalah tentang rekaman menyanyi. Ibukku mengajariku menyanyi Ibu Kita Kartini dan merekamnya pada pita kaset. Aku suka rekaman itu dan terus memutarnya. Kaset itu memperdengarkan ibukku mengajariku nyanyi. Ada suaraku yang tertatih dan dibetulkan oleh ibuk.

Masih balita, aku sering ikut bapak atau ibukku ke sekolah tempat mereka mengajar. Aku lebih suka ikut ibuk sih, karena sekolahnya berada di kota. Saat jam istirahat aku suka diajak ke semacam mini market. Toko tersebut dimiliki oleh pengusaha multi field. Usahanya berbagai bidang, mulai dari kayu gelondongan, jual beli hasil bumi, dan mini market. Mini marketnya berada jauh di dalam ruangan gudang yg berisi karung-karung beras dan agak gelap. Namun demikian, setelah sampai di mini market, suasananya berubah jadi terang benderang dan menyenangkan, banyak jajanannya. Aku paling suka Roti Milkis. Aku selalu notice sensasi perubahan memasuki gerbang gudang yang gelap dan agak seram, ada banyak karung bertumpuk, kemudian sampai di pintu mini market yang menyenangkan, terang benderang, wangi, dan banyak makanan.

Suatu hari kami pergi ke tempat itu untuk berbelanja. Aku masih ingat ibukku memakai seragam warna biru. Aku dituntun oleh ibuk memasuki gudang. Gelap. Aku merasa selama ada ibuk, semua pasti beres dan aman. Namun demikian, hari itu kami mengalami kejadian yg tidak pernah kami alami sebelumnya. Di pojok-pojok gudang gelap itu ternyata ada anjing-anjing yang sedang duduk. Menyadari kehadiran kami, anjing-anjing tersebut bangun, menggonggong dan mendatangi kami. Aku menjerit ketakutan. Kurasa ibukku juga takut, tapi dia kemudian memelukku dan berusaha menghalau anjing-anjing tersebut. Dalam pelukan ibukku terus menangis membayangkan anjing-anjing tersebut tetap mengerumuni kami. Aku masih mendengar gonggongan mereka. Ibukku terus menghalau mereka. Suara gonggongan masih terdengar, hingga ada ibu-ibu pekerja gudang tersebut muncul dari luar dan menghalau anjing-anjingnya. Mereka patuh pada ibu tersebut dan pergi dari kami. Ibu itu mengatakan bahwa anjing-anjing itu baru dipelihara oleh yg punya gudang. Setelah berterimakasih, kami pergi ke mini market. Sebelum pulang, pemilik mini market memastikan bahwa anjingnya sudah diamankan, jadi kami tidak perlu takut melewati gudang.

Saat itu aku merasa ketakutan, tapi aku berpikir bahwa ibukku melindungiku dari apapun yang terjadi di dunia ini. Dalam pelukannya, aku merasa aman, tapi juga khawatir bagaimana kalau anjing-anjing itu tetap menyerang kami, bagaimana dengan ibukku. Tuhan, terimakasih telah memberikanku ibuk yang selalu melindungiku, tetap menyayangiku apapun yang terjadi.

Ada yang lucu. Waktu itu kami pergi ke pusat perbelanjaan. Selain belanja barang kebutuhan, orang tuaku membelikan aku kotak nasi anak-anak, baju, dan makanan ringan. Mungkin uang mereka sudah cukup banyak dibelanjakan. Keluar dari toko, aku melihat kursi plastik bentuk Donal Bebek dipajang di teras toko tersebut. Aku minta dibelikan kursi itu. Ibukku bilang, "Udah banyak beli barang-barang gitu lho tadi". Aku tetap minta dibelikan kursi itu sambil merengek. Mereka tetap tidak mau membelikan. Aku masih terus meminta. Mereka mengancam mau meninggalkanku untuk pulang kalau aku masih terus merengek. Aku melepaskan tanganku dari ibukku dan memeluk kursi itu sambil minta dibelikan. Ibukku bilang, "Ayo pulang". Aku tetap stay. Akhirnya mereka berdua pergi ke parkiran. Sebenarnya aku panik, tapi tetap bengong memperhatikan mereka sambil memeluk kursi Donal Bebek. Mereka sudah naik motor di depan teras. Aku bingung juga, masa aku benar-benar ditinggal sih? Tapi aku tetap ndeprok dan memeluk kursi. "Ayo, ikut pulang gak?" kata ibukku. Aku tetap bertahan di teras toko. Dalam hati aku takut juga sih kalau benar-benar ditinggal. Akhirnya ibukku turun dari motor juga dan membelikanku kursi Donal Bebek itu, padahal mungkin uang mereka mau dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih penting. Haha. Kursi dan rantang makan anak-anak itu sampai sekarang masih ada lho. Rantangnya cuma mangkrak di rak piring, kalau kursinya masih tiap hari dipakai. Mungkin barang dulu awet-awet karena dibuat dengan bahan yang lebih baik.

Tiap kali menjalani psikotest yg ada gambar pohonnya, aku selalu menggambar pohon yang akarnya besar dan kuat, gak sengaja selalu begitu. Kenapa ya? Apakah itu mencerminkan bahwa hati dan pikiran kita kuat mencengkeram latar belakang kita, keluarga besar, dan masa kecil kita? Aku mencintai keluargaku. Sangat.

Malang, 12 November 2016.