Senin, 22 Mei 2017

Laki-laki Baik

Banyak laki-laki baik dalam hidup saya dan di sekitar saya. Ada ayah saya, adik saya, om-om saya, sepupu-sepupu saya, dan teman-teman saya. Dalam tulisan ini saya akan membahas tentang kakek saya.

Tulisan ini sebenarnya sebagai bentuk saya menepati janji. Dulu saya berjanji untuk menulis tentang keluarga saya seperti penulis Valerie Miner. Saya sudah menulis tentang salah satu om saya dan salah satu tante saya pada postingan sebelumnya. Kali ini kakek saya dari pihak ibu.

Dia bukan benar-benar kakek saya. Ibu saya adalah anak nenek saya dengan suaminya yang terdahulu. Namun demikian, ibu saya tidak pernah mengenal ayah kandungnya. Nenek saya bercerai pada pernikahan pertamanya ketika ibu saya belum satu tahun. Tak berapa lama, kakek asli saya tersebut meninggal, sehingga ibu saya tidak pernah melihat wajah ayah kandungnya sekali pun.

Kebaikan pertama adalah warisan untuk ibu saya. Rumah kakek nenek saya agak masuk ke desa. Kakek punya sebidang tanah di wilayah yang agak ramai. Tanah tersebut diberikan pada ibu saya, yang sekarang menjadi lokasi rumah kami. Dalam hal ini, kakek saya pernah diprotes saudara-saudaranya tentang kenapa tanah tersebut diberikan pada ibu saya, bukannya anak-anak kandungnya saja. Namun kata ibu, kakek tidak pernah membeda-bedakan sekalipun antara ibu dan tante-tante saya.

Kedua, kakek saya berkontribusi besar terhadap pendidikan ibu saya hingga ibu saya berkarir seperti ini. Dulu ibu saya dilamar seseorang yang entah siapa, saya kurang paham. Lamaran tersebut datang ketika ibu saya lulus SMP. Namun demikian, ibu saya mengatakan pada kakek bahwa dia ingin sekolah. Akhirnya kakek mengabulkan keinginan ibu. Kakek saya sampai rela bekerja di sawah orang kaya di desa tersebut untuk menambah biaya sekolah ibu. Ketika ibu melamar pekerjaan pun, kakek saya ikut wira-wiri ke surabaya untuk memenuhi persyaratan. Dengan demikian, kakek saya secara tidak langsung berkontribusi terhadap pencapaian saya sekarang. Ibu saya tidak jadi menikah dini dengan entahlah. Ibu saya akhirnya berjodoh dengan ayah saya yang merupakan anak orang kaya di desa tersebut.

Kenangan saya dengan kakek cukup banyak. Kakek saya adalah orang yang dengan senyum ceria penuh sayang menolong saya bangun di pagi hari pertama saya punya adik. Saya punya adik ketika berumur 4 tahun, sehingga kondisi ini membuat perhatian orang tua terhadap saya yang masih balita berkurang. Kakek saya semacam orang yang melindungi saya dari kondisi ini.

Banyak hal-hal lain. Entah kenapa yang terlintas dalam benak saya adalah kejadian suatu malam ketika saya, nenek, dan kakek pulang dari pernikahan kerabat. Sebenarnya orang tua saya juga ikut. Kemudian kakek nenek mampir ke rumah kami dan membawa daun pintu dari rumah saya. Mungkin dipesan sebelumnya dari tukang dan diletakkan di rumah saya dulu. Saya ikut kakek nenek untuk menginap. Kami jalan kaki ke rumah joglo nenek. Jaraknya cukup jauh melewati sawah, jembatan, dan jalan pinggir sungai. Kami berjalan dengan canda tawa. Nenek saya menggendong anyaman bambu berisi oleh-oleh pernikahan. Kakek saya menyunggi daun pintu. Di tengah jalan, nenek saya merasa capek dan keberatan akan gendongannya. Kemudian, kakek saya menyuruh nenek meletakkan anyaman bambu tersebut di atas daun pintu yang disunggi kakek. Pasti lebih berat, tapi kakek saya bertahan membawa beban tersebut sampai rumah. Kini saya berpikir, kalau tidak sayang, mana mau kakek saya melakukan itu. Oleh karenanya, saya akan menikah dengan orang yang menyayangi saya.

Pernah suatu ketika ketika saya SD, kakek saya jatuh dari sepeda. Jatuhnya cukup parah karena rem blong di jalan turunan, dan kepalanya membentur pagar tembok sebuah rumah. Kakek harus dilarikan ke rumah sakit dan dioperasi. Saya ingat betul, saya menemani nenek saat itu di rumah. Dia tidak ikut ke rumah sakit. Entah apa yang dipikirkan nenek, dia kok malah mencuci piring di sumur. Karena khawatir, saya mengikutinya dan menungguinya di sumur seperti orang kurang kerjaan. Saya tidak berani mengatakan sepatah pun, takut salah ngomong. Lalu nenek mulai terisak. Dia tau saya di situ. Dia kemudian mengatakan semoga kakek selamat sambil tersedu. Lukanya memang sangat parah di kepala, sampai kakek tak sadarkan diri. Nenek tersedu, kemudian curhat ke saya. Dibandingkan suaminya yang pertama, kakek saya ini lebih ngertiin nenek ke mana-mana. Kakek mau diajak diskusi, merintis usaha bersama dan membesarkan anak-anak. Intinya mau diajak omongan dan mendengarkan pendapat nenek. Suaminya yang pertama, boro-boro. Selalu memaksakan kehendak.

Nenek menikah dua kali bukan karena salah dia. Dia menikah karena disuruh ibunya yaitu nenek buyut saya yang saya masih kenal baik dengan dia sampai saya SMP. Setelah saya SMP kelas 3, dia baru meninggal. Saya akan ceritakan tentang dia di kemudian hari, karena dia juga spesial di hati saya. Nenek saya manut saja ketika disuruh menikah. Dia tidak punya pilihan. Suaminya pun juga pilihan nenek buyut. Suami pertama didatangkan dari desa yang agak jauh, Desa Pupus. Kata ibu, semua keluarga menantu nenek buyut saya memiliki kuda putih, kecuali keluarga kakek saya ini. "Lha kok sangar rek!", batin saya. Mungkin nenek buyut men-screening orang-orang kaya di penjuru kecamatan untuk dijadikan besan. Kenalan nenek buyut banyak karena dia seorang pedagang. Nah, karena dipilihkan nenek buyut ini, suami pertamanya gak cocok. Ya memang gak jodo.

Suami kedua yaitu kakek saya juga dipilihkan nenek buyut sebenarnya, tapi Alhamdulillah, suami kedua ini cocok dengan nenek. Pengertian, mau diajak diskusi, dan sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Baiknya minta ampun. Kebaikannya dapat dirasakan baik nenek, anak-anaknya, cucu-cucunya, dan para tetangga.

Oh iya, ada kenangan manis saya tentang kakek. elahh, kenangan manis. Di depan rumah joglo mereka terdapat pohon jambu air. Suatu ketika, jambu air sudah pada matang, warnanya merah-merah. Karena buahnya lebat, kakek memutuskan untuk menjualnya dengan menitipkan ke adiknya yang jualan di sekolah depan rumah saya. Kakek memanjat sendiri pohon jambu air tersebut. Di bawah pohon, digelarlah layar yang biasanya untuk menjemur padi. Para tetangga menunggu di bawah pohon. Kakek saya membawa kresek besar di atas pohon. Sesekali kakek memasukkan buah jambu ke kresek, sesekali kakek menjatuhkan gerombolan buah jambu air ke bawah, di atas layar. Para tetangga berebutan mengambili buah jambu tersebut. Sore itu sangat ramai dan menyenangkan. Penuh tawa, saya sampai ngakak, berebutan, dan kekenyangan jambu air.

Kakek saya unik juga. Dia terbiasa mengenakan baju batik dan topi mirip koboi kalau pergi ke mana-mana. Suatu hari dia cerita ke saya bahwa hari sebelumnya dia pergi ke Telaga Sarangan sendirian. ebuset, lha kok ngiwut, kata saya dalam hati. Waktu kutanya emang ngapain ke sana, dia bilang dia ingin refreshing dan piknik aja. Dia jalan ke tempat angkot, terus naik angkot sendiri. Nyampai Sarangan, dia jalan mengelilingi telaga sendiri, sambil menikmati keindahan alam. Kenapa nenek gak diajak? Karena nenek gak terlalu suka piknik-piknikan. Suatu ketika saya SD saya teringat cerita kakek ini dan terinspirasi. Saya mengemasi bekal dalam ransel dan memakai jeans serta jaket. Saya selalu punya uang simpanan hasil angpao lebaran. Saya sudah bersiap berangkat, namun ketika nyampai teras, ibu saya memarahi saya. Ngapain ke sarangan sendiri kayak orang hilang katanya. haha. Waktu dewasa, saya selalu ingat cerita ini, sehingga kadang saya pergi piknik sendiri kalau sendang penat.

Kakek saya sekarang sudah tua. Kemampuan penglihatannya juga sudah berkurang, sehingga dia hanya di rumah saja. Katanya dia khawatir dianggap sombong ketika tidak menyapa orang, padahal memang dia tidak melihat. Saya sedih atas hal ini. Bahkan ke teras saja dia terkendala kondisi tadi. Takutnya ada orang lewat dan dia gak bisa lihat sehingga gak nyapa. Dia di rumah saja.

Kakek saya shalat lima waktu, setahu saya tidak pernah absen. Ketika saya pulang kemarin, saya ke rumah nenek saya. Saat itu sore. Seusai shalat Ashar, saya sok ngelamun memandang ke arah luar jendela ruang shalat. Sebelah ruangan itu adalah kamar kakek saya. Dia habis shalat juga rupanya. Dia melafalkan Dzikir dan do'a-do'a dengan keras. Yaudah saya dengerin aja sambil melihat pemandangan dari jendela. Namun demikian, saya terkejut, di tengah do'anya kakek menyebut nama saya dan adik-adik sepupu saya. Serius, saat itu saya ingin menitikkan air mata. Dia sebut nama kami satu per satu. Semoga diperlancar dalam rezeki, pekerjaan, sekolah, dan jodoh. Intinya do'a yang terbaik buat kami. Ya Allah, kakek, terlepas dari kenangan lucu masa kecil, di masa tua yang sudah tak sesehat dulu dia selalu mendoakan saya dan adik-adik sepupu saya. Ingin rasanya kupeluk saat itu juga, tapi saya sedang kerepotan menghapus air mata dan kakek sedang khusuk berdo'a. Saya kemudian berpikir, segala keberuntungan, beasiswa, sekolah, dan pekerjaan yang selama ini saya dapatkan adalah berkat do'a orang-orang yang menyayangi saya. Terimakasih banya, Kek.

Paragraf penutup. Sering ketika saya di rumah nenek, saya melihat nenek membuatkan kopi pagi dan sore untuk kakek. Nenek menawari saya mau dibuatkan minuman apa, tapi saya tidak suka minuman yang manis-manis. Hal itu menunjukkan keromantisan mereka berdua. Romantis walau hanya dalam segelas kopi. Pernah dulu saya menulis status. Dulu sekali sekitar tahun 2012, saya menulis bahwa saya tidak ingin mendapatkan kisah romantis romeo dan juliet. Saya ingin mendapat rumah tangga romantis seperti kakek dan nenek saya. Mendapatkan laki-laki sebaik kakek saya.

Malang, 23 Mei 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar