Sabtu, 19 Agustus 2017

Nafsu Terakhir

Baru-baru ini saya membaca Serat Centhini (SC). Niat awalnya, saya membaca SC untuk mempelajari suatu hal di dalamnya, namun setelah menyelesaikannya, saya menemukan pelajaran lain yang lebih berharga. Buku Serat Centhini yang pertama saya miliki adalah Serat Centhini Jilid IV yang ditulis tahun 1970-an dan merupakan tembang asli yang dilatinkan dari Aksara Jawa. Buku ini saya beli dari penjual buku bekas di Yogyakarta yang kebetulan berteman dengan saya di FB. Namun demikian, saya gagal memahami buku ini. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa kuno yang kebanyakan kata-katanya belum pernah saya ketahui sebelumnya.

Karena saya ingin mempelajari suatu hal dari Serat Centhini, saya mencari Serat Centhini yang dituturkan dalam Bahasa Indonesia. Setelah mencari di berbagai toko tidak ketemu, akhirnya pacar saya membelikan Serat Centhini yang dituturkan oleh Elizabeth D. Inandiak dari toko online. Versi Inandiak ini merupakan ringkasan SC dari jilid 1 sampai jilid terakhir, diadaptasi dari tembang-tembang ke bentuk cerita yang mudah dipahami.

SC berisi tentang pengetahuan Jawa dan Islam Jawa yang dituturkan melalui cerita pengembaraan putra-putri Sunan Giri setelah Kerajaan Giri kalah perang melawan pasukan Sultan Agung Mataram. Diceritakan Kerajaan Giri tidak mau tunduk menjadi bagian dari kerajaan Mataram dan tidak mau membayar upeti atau pajak ke Mataram. Karena hal ini, Sultan Agung tidak terima serta meminta Pangeran Pekik di Surabaya yang merupakan adik iparnya untuk menyerang kerajaan Giri. Singkat Cerita, kerajaan Giri kalah dan Sunan Giri ditangkap serta dibawa ke Mataram. Dalam reruntuhan kerajaan Giri, pasukan Pangeran Pekik tidak menemukan putra-putri Sunan Giri. Jayengresmi,putra mahkota Giri melarikan diri dan kebingungan mencari kedua adiknya. Sedangkan kedua adiknya, Jayengsari dan Rancangkapti melarikan diri bersama, ditemani seorang abdinya.

Tokoh utama di sini adalah Jayengresmi. Pada pegembaraan pelariannya sekaligus mencari kedua adiknya, Jayengresmi sampai ke padepokan Ki Ageng Karang dan menimba ilmu di sana. Selesai menimba ilmu, Jayengresmi mengganti nama menjadi Amongrogo yang berarti orang yang memikul raganya. Sampai di sini, ilmu Amongrogo sudah sangat tinggi, dia memiliki pengetahuan luas, baik ilmu Jawa maupun Islam. Amongrogo pun pergi meninggalkan padepokan Ki Ageng Karang menuju ke padepokan teman ki Ageng Karang. Di padepokan ini, Amongrogo menikah dengan Tambangraras, putri pemilik padepokan. Setelah menikah dan memberi pelajaran pada Tambangraras, Amongrogo melanjutkan perjalanan mencari kedua adiknya.

Perjalanan ini membawa Amongrogo ke daerah Gunungkidul, serta mendirikan padepokan dengan dua masjid yang memiliki banyak pengikut, namun pengikut-pengikutnya memiliki kebiasaan atau praktik menyimpang dengan Islam di bawah pimpinan Gathak dan Gathuk, kedua abdi Amongrogo. Kemasyuran dan penyimpangan padepokan ini terdengar oleh Sultan Agung. Menanggapi penyimpangan ini, Sultan Agung memerintahkan patihnya untuk menangkap pimpinan padepokan yaitu Amongrogo. Singkat cerita, Patih Mataram memasukkan Amogrogo kedalam kerangkeng dan menenggelamkannya di Laut Selatan. Namun demikian, kerangkeng tersebut muncul kembali ke permukaan dalam keadaan kosong. Karena kesempurnaan ilmunya, Amongrogo berhasil selamat, bertapa di dasar laut. Amongrogo kemudian mendirikan pulau besi di Laut Selatan dan mengajak Tambangraras, istrinya tinggal di Pulau Besi tersebut. Mereka berdua bebas gangguan karena Pulau Besi tersebut terlindung berkat kekuatan sempurna Amongrogo, sampai suatu hari sebuah kapal membawa Endrasena kakak angkat Amongrogo ke Pulau Besi tersebut.

Endrasena mengabarkan bahwa Sunan Giri, ayah mereka meninggal di penjara Mataram. Endrasena menasehati agar Amongrogo tidak lagi melanjutkan keterasingannya dari kehidupa para makhluk di Pulau Besi dan mengambil tindakan atas kematian ayah mereka. Setelah itu, Amongrogo membawa istrinya, Tambangraras menemui Sultan Agung. Sultan pun tahu siapa Amongrogo dan apa yang ada dalam pikirannya. Sultan Agung menyesal atas kematian Sunan Giri dalam penjaranya. Pembicaraanpun berujung pada kesepakatan bahwa Amongrogo dan Istrinya akan merubah diri menjadi ulat. Ulat jelmaan Amongrogo akan dimakan Sultan Agung, sehingga nantinya akan menitis menjadi anaknya. Ulat jelmaan Tambangraras akan diberikan pada Pangeran Pekik untuk dimakan dengan kondisi sama, bahwa nantinya Ulat tersebut akan menitis menjadi anak keturunan Pangeran Pekik. Keduanya nanti akan dinikahkan, dan keturunan mereka akan meneruskan kepemimpinan Kerajaan Mataram.

Sultan Agung dan ratunya selanjutnya memiliki anak Amangkurat I yang merupakan titisan Amongrogo. Pangeran Pekik dan ratu Pandansari memiliki anak perempuan yang dinikahkan dengan Amangkurat I. Di kemudian hari Amangkurat I memiliki sifat kepemimpinan yang tidak adil. Dia melakukan pembantaian para ulama di seluruh Mataram. Tidak hanya itu, Amangkurat juga membunuh Pangeran Pekik yang merupakan paman sekaligus ayah mertuanya sendiri.

Yang saya petik dari cerita ini adalah tentang keikhlasan. Amongrogo merupakan pribadi yang baik dan taat. Pada pengembaraannya dia mencapai kesempurnaan ilmu yang dia pelajari dari padepokan Ki Ageng Karang. Karena kesempurnaan ilmunya, dia bahkan sampai berhasil membuat Pulau Besi yang bebas dari segala ancaman dan bebas dari kehidupan makhluk. Namun demikian, setelah merubah diri menjadi ulat dan dimakan Sultan Agung, Amongrogo menitis menjadi seorang pribadi yang kejam. Dia melakukan pembantaian begitu banyak ulama di Mataram dan membunuh pamannya sendiri, Pangeran Pekik yang dulu menangkap Sunan Giri dan menyerahkannya ke Mataram. Dalam kesempurnaan ilmu dan kebaikan hatinya, Amongrogo menyimpan sebuah nafsu dan dendam. Nafsu terakhir yang dia pendam atas kematian ayahnya. Nafsu inilah yang merubah Amongrogo menjadi Amangkurat yang kejam.

Dari sini, saya pikir hendaknya kita menyingkirkan nafsu atau hal-hal mengganjal dalam diri kita. Ikhlaskan. Dengan mengikhlaskan segala sesuatu, kemungkinan kehidupan ke depan akan dipermudah dan dihindarkan dari segala keburukan.

Saya pribadi sebelumnya berpikir bahwa saya adalah orang yang ikhlas. Saya menghakimi teman-teman saya yang dalam pandangan saya tidak ikhlas. Biasanya mereka tidak mengikhlaskan benda, kedudukan, bahkan cowok. Terkait hal-hal itu, saya sudah sangat ikhlas. Namun demikian, saya menyadari bahwa saya memiliki hal yang sulit untuk saya iklhaskan. Memang benar saya ikhlas dalam hal yang oleh sebagian besar orang sulit diikhlaskan. Hal ini sudah saya tulis contohnya dalam postingan saya sebelumnya yang berjudul "just another phase on your way to grave". Namun demikian, ternyata saya masih belum mengikhlaskan satu hal dalam hidup. Hal yang mungkin sangat biasa bagi orang lain, namun sangat berarti untuk saya, karena berkaitan dengan perjuangan, tirakat, dan upaya saya selama ini. Satu-satunya tujuan hidup kalau versi berlebihannya. Saya sadar hal ini adalah nafsu terakhir yang harus saya takhlukkan. Saya ingin keikhlasan saya atas semua hal, ilmu yang saya miliki selama ini, beberapa sifat baik saya, skill dan kemampuan saya menjadi hal baik ke depannya dengan mengikhlaskan nafsu terakhir saya. Bukan menjelma menjadi hal tidak baik seperti Amongrogo yang menitis menjadi Amangkurat I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar