Kamis, 05 Oktober 2017

Detik itu Juga

Saya punya kebiasaan menunda pekerjaan. Tak jarang dengan kebiasaan ini saya memiliki hutang pekerjaan yang menumpuk. Kadang saya bingung sendiri mau menyelesaikan yang mana dulu. Padahal menurut penilaian saya sendiri, entah saya ke-PD-an atau tidak, bila saya mau, saya bisa mengerjakan segala pekerjaan dengan sempurna. Hanya saja, saya menunda-nunda, sehingga berbagai pekerjaantadi tidak maksimal.

Hal tersebut ditambah dengan masuknya saya ke dunia sosial media. Dulu saya merupakan pengguna sosial media yang aktif, bahkan hiper aktif. Dampak dari kegiatan tersebut bagi saya adalah, pertama, saya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengelola sosial media. Saya jadi melewatkan banyak hal yang harusnya bisa saya selesaikan dengan waktu yang saya habiskan untuk bermain sosmed. Kedua, saya jadi sedikit fake. Fake di sini dalam artian pertama, saya membagus-baguskan kejadian yang saya alami. Hal ini terlebih ketika saya aktif menggunakan Instagram. Hal-hal biasa yang saya alami selalu saya bagus-baguskan dengan caption yang lebih bagus dari kenyataan dan mempostingnya sebagai foto di IG. Artian fake kedua adalah, saya lebih mengelola kehidupan saya di sosmed daripada kenyataan. Misal saya berteu teman lama atau kerabat jauh. Yang pertama saya pikirkan adalah berfoto bersama dan memikirkan caption untuk foto tersebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai agenda, saya lebih mementingkan publikasi di sosmed ketimbang penyelenggaraan agenda yang sebenarnya. Yang ingin saya capai adalah komentar dan rasa kagum dari teman-teman sosmed saya. Artian fake ketiga adalah bahwa saya berusaha sekuat tenaga untuk tampil oke di sosmed, dalam hal ini foto IG yang bisa dikoneksikan di sosmed lain. Setiap acara tertentu atau mau ketemuan dengan orang, saya selalu berusaha membeli baju baru. Saya merasa malu bila baju itu-itu saja yang muncul di sosmed saya. Dengan demikian, saya memalsukan kebutuhan baju-baju saya, yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Dampak ketiga penggunaan sosmed yang berlebihan adalah citra yang salah. Memang dengan pencitraan saya di sosmed ada yang tertipu menganggap saya cetar membahana. Namun demikian, ada juga yang salah mengartikan saya terlalu kekanakan dan terlalu alay, sehingga yang bersangkutan tidak percaya saya bisa lulus psikotest untuk pekerjaan yang membutuhkan kedewasaan dan kematangan, pun dia tidak percaya saya satu-satunya yang lulus tanpa syarat dengan nilai bagus di berbagai tes lainnya. Saya ingat waktu remaja pernah nge-fans kakak kelas waktu SMP. Namun demikian, setelah berteman di fb, saya jadi ill feel sama dia. Mungkin saja sosmed bisa membuat orang salah mencitrakan diri sendiri atau membuka kepribadian orang tersebut yang sebenarnya sehingga membuat orang lain jadi ill feel. Atas alasan tersebut, saya memutuskan melepaskan seluruh sosmed saya kecuali twitter. Saya berjanji tidak akan membuka sosmed saya selama dua tahun ke depan. Setelah dua tahun, apabila saya berpikir saya tidak perlu sosmed, saya akan melanjutkan melepaskan sosmed saya.

Terkait menunda pekerjaan ini, saya sedang keteteran dikejar hutang beberapa pekerjaan. Bahkan saya sampai malu kalau ketemu mitra kerja saya karena saya belum sempat menyelesaikan pekerjaan dengannya, sebab saya sedang sibuk mengurus pekerajaan lain dengan deadline lebih dulu. Harusnya, bila saya bisa mengelola waktu dengan baik, saya tidak menghadapi situasi seperti ini.

Seseorang yang saya temui di kantor saya yang lama

Saya bertemu dia di kantor saya yang lama ketika teman kerja saya merekomendasikan dia untuk menjadi moderator dalam konferensi yang kami programkan. Iya, dia adalah tunangan saya yang sebentar lagi menjadi suami saya. Dari pertama dengar namanya, citranya sudah baik. Kata teman saya, dia pintar Bahasa Inggris dan pintar dalam akademis. Pun kata salah satu dosen saya ketika kami rapat, dia sudah akan lulus dalam waktu kuliah kurang dari satu tahun. Tentu saja tidak mungkin dicapai bila menunda pekerjaan seperti saya ini.

Berhubung sudah tunangan, saya mulai tau kehidupan orang hits ini. Yang saya tangkap, pertama, dia adalah orang yang rapi untuk ukuran cowok. Saya heran juga, padahal waktu S1, dia gondrong, bagaimana orang gondrong macam dia bisa rapi. Teman-teman saya yang cowok di teater dulu pada gondrong dan segala-galanya tidak rapi, malah acak adul. Kerapian ini pertama saya lihat dari aplop kiriman pos yang dia kirimkan pada saya. Alih-alih menulis dengan tanngan, dengan niat dia ketik alamat dan pengirim di amplop. Kerapian selanjutnya, saya lihat dari penataan baju di rumahnya yang sangat rapi. Baju-baju kerja diatur dengan sangat rapi. Lha saya, sudah baju dilaundry, tinggal nata saja saya males. Lemari saya acak-acakan. Kadang saya lupa punya baju tertentu karena sudah tertimbun di tumpukan paling bawah dari baju-baju yang tidak teratur.

Hal yang saya tangkap selanjutnya adalah dia Gercep alias gerak cepat. Bila punya tanggungan detik ini, dia mulai menyelesaikan detik ini juga. Pasti itulah kenapa dia bisa lulus kurang dari satu tahun dan memiliki banyak karya. Detik ini selesaikan ini, nanti segera kerjakan hal baru. Nah saya, saya iyain aja kerjaan yang datang, nanti dikerkain besok. Belakangan orang rumah ngirim undangan buat tamu-tamunya dia, tapi ternyata banyak penulisan gelar yang salah. Dia terima kardus undangan itu sore. Dia tanya ke saya template untuk tempelan dan bagaimana membuat nama di tempelan. Saya kirim templatenya seusai Magrib. Masa sekitar jam setengah 8 dia sudah kirim foto ke saya tempelan yang baru yang sudah diprint nama. Itu berarti dia sudah download file dari saya, menamai, ganti font, keluar beli kertas tempelan, dan ngeprint. Kalau saya dalam kondisi itu, sudah pasti besoknya aja saya kerjakan. Sudah capek pulang kantor. Tadi saya tanya lagi apa nempelinnya sudah selesai, dia bilang sudah. Berarti dia sudah nempelin seratusan lebih undangan, masukin plastik, dan mungkin juga sudah mendistribusikannya, karena saat ini dia sudah fokus revisi jurnal. Berarti dia sudah menyelesaikan pekerjaan sebelumnya untuk ganti menyelesaikan pekerjaan selanjutnya.

Saya berterimakasih pada Tuhan bahwa saya dijodohkan dengannya. Pertama, dia adalah orang yang sangat dewasa. Dia bisa mengayomi dan menyayangi saya dengan cara yang sangat dewasa. Kedua, seperti Tambangraras yang hanya mau menikah dengan laki-laki yang lebih pintar darinya, masnya jauh-jauh lebih pintar dari saya. Saya banyak mendapatkan ilmu terkait bidang saya dalam obrolan kami selama ini. Ketiga, dia bisa menjadi contoh yang baik. Dengan melihat berbagai karakteristik baik darinya, saya mengikuti hal-hal baik tersebut dan segera meninggalkan sikap tidak baik saya. Dengan demikian, saya memutuskan untuk menghilangkan kebiasaan menunda pekerjaan dan mengerjakan detik itu juga ketika tanggungan yang datang pada saya.

Malang, 5 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar