Jumat, 18 November 2016

Not a Big Deal Part 2

Pagi ini tiba-tiba saya melihat postingan langka dari senior saya di teater. Iya, langka, karena orang ini hampir tidak pernah muncul di sosmed. Dia adalah senior saya baik di teater maupun di jurusan. Postingannya pagi ini adalah share pertunjukan teaternya di Jepang. Selain hari ini, saya kadang melihat orang ini di tag dalam postingan orang lain terkait pertunjukan teaternya di Australia dan di negara-negara Eropa. Saya sempat menyimpulkan sebentar bahwa orang harus memilih salah satu untuk ditekuni dan terjun total di dalamnya. Pemikiran itu muncul setelah saya melihat senior saya tersebut yang saat ini telah menjadi aktor teater profesional di sebuah teater paling ternama di salah satu kota budaya di Indonesia. Selain pentas di berbagai negara, dia juga pernah saya lihat main film karya salah satu sutradara paling terkenal di Indonesia. Terjun total yang mengantarkan sukses besar ini dibayar dengan mengorbankan sekolah. Bukan mengorbankan mungkin, tapi pilihan. Dia tidak melanjutkan sekolah lagi sejak sibuk di teater.

Pemikiran memilih salah satu untuk kesuksesan tadi hanya mampir sebentar di otak saya. Kemudian saya teringat pesan orang-orang founding father teater ternama itu yang disampaikan pada teman saya. Teman saya ini juga merupakan salah satu aktor dalam teater tersebut. Kebetulan teman ini menceritakan pesan itu pada saya. Mereka mengatakan bahwa apapun yang terjadi, menyelesaikan sekolah itu penting. Apapun pencapaian sesuai passion kita, menyelesaikan sekolah itu seharusnya tetap harus dilakukan.

Ada banyak alasan yang membuat saya setuju dengan hal tersebut. Pertama, mungkin ini adalah alasan yang paling dangkal, kalau kita menyelesaikan sekolah, kita akan punya ijazah dan gelar. Saya pikir ini pasti ada manfaatnya dalam kehidupan kita. Kedua, mempertimbangkan sayangnya waktu dan biaya yang sudah ditempuh dan dihabiskan untuk sekolah sampai memutuskan give up. Saya pikir sayang rasanya untuk tidak melanjutkan bila mengingat bagaimana usaha kita dari awal sekolah, waktu yang dilalui dan uang yang dibayarkan, padahal melanjutkan cuma butuh alokasi waktu yang cukup cepat dan sedikit lagi bila bersungguh-sungguh. Ketiga, saya jadi ingat salah satu bagian di buku tulisan kakak kelas saya waktu S2, di situ dikatakan apapun pilihan karir kita nanti, bila kita sudah dapat menulis tugas akhir dengan baik, benar, dan sistematis (tentu saja menyelesaikannya ya), kita akan dapat menyelesaikan pekerjaan dan berbagai masalah baik dalam karir dan kehidupan pasca sekolah dengan lebih baik. Pun dalam hal menyikapi hidup menurut saya. Hal tersebut dipengaruhi oleh cara berpikir kita yang sudah sistematis dan logis dalam menyelesaikan tugas akhir tadi. Kemudian saya teringat salah satu roman Pram, Bumi Manusia. Di salah satu bagiannya, diceritakan Raden Mas Minke, tokoh utama roman tersebut sedang dalam kesulitan menyelesaikan sekolah. Kusir kereta kuda yang sedang mengantarnya bertanya buat apa melanjutkan sekolah bila sekarang dia sudah hidup berkecukupan. Minke mengatakan bila dia tidak lulus sekolah, rasanya dia tidak lulus dalam hal-hal lain dalam kehidupan. Saya pikir ini dapat dijelaskan dengan pemikiran kakak kelas saya dalam bukunya tadi.

Lebih lanjut, menyelesaikan sekolah menurut saya bukan perkara besar. Lagi-lagi it's not a big deal. Dibandingkan upaya untuk mencapai hal besar di luar sekolah tadi, pergi ke sekolah menurut saya bukan hal berat. Kita tinggal mengambil kelas-kelas yang harus dipenuhi dan menyelesaikan tugas akhir. Bagaimana dengan tugas akhir ini? Teman saya pernah bilang kalau sudah menyelesaikan tugas akhir, kemungkinan besar akan berpikir, "Oalah, ternyata cuma gitu doang". Dan memang benar menurut saya. Setelah berpusing-pusing, kadang bingung dengan topik tulisan kita, setelah berbagai upaya bimbingan dan penulisan, kita biasanya akan menemukan celahnya, biasanya sangat simpel dan membuat kita berkata, "Ternyata cuma gitu doang".

Sahabat terbaik saya pernah mengatakan, "If you want to master something, you have to teach it". Hal tersebut dikatakannya setelah saya menanyakan bagaimana bisa salah satu temannya memiliki gaya Bahasa Inggris yang smooth, tidak kaku pokok grammar bener, dan tidak gaya Inggris Indonesia. Ternyata dia bisa seperti itu karena dia pernah mengajar di salah satu Bimbel B.Inggris. Saya setuju dengan pendapat teman saya. Setelah saya membimbing skripsi mahasiswa, saya pikir saya jadi menguasai dengan baik penulisan tugas akhir. Ini membuat saya tambah berpikir lagi tentang "Oalah, ternyata cuma gitu doang". Dalam satu waktu saya berkewajiban memikirkan banyak sekali skripsi mahasiswa saya dan membimbing arah tujuan hidup tugas akhir ini mau dibawa ke mana. Serius, ini bukan masalah besar. Untuk orang-orang besar yang sudah malang melintang di dunia luar sekolah, saya pikir menulis tugas akhir ini merupakan pekerjaan yang seharusnya sangat biasa. Mungkin ini harus diluagkan seperti diumpamakan sarapan dulu sebelum beraktivitas pagi. Kalau tidak sarapan, nanti sakit perut, nanti lemes, nanti ngantuk, tidak ada asupan nutrisi untuk otak dan tubuh untuk melakukan aktivitas. Sarapan ini sangat effortless, cepat saja, seperti namanya "breakfast". Menyelesaikan sekolah yang tinggal sedikit lagi menurut saya bukan masalah yang besar.

Malang, 20 November 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar