Sabtu, 12 November 2016

Quand J'étais Petit

Karena sedikit flu, tadi ketiduran sore-sore. Mimpi tentang tempat-tempat masa kecil. Tentang rumah joglo nenek, tentang makanan favorit, dan pasar tradisional terdekat, tentang tante, sepupu, dan kakek.

Kemudian terbangun dan merindukannya. Sudah jauh sekali ya. Tidak terasa, sepertinya baru kemarin masa-masa kecil itu. Bahkan aku ingat jelas, seperti baru kemarin ketika aku masih tinggal di rumah joglo nenek yang berarti sudah lama sekali, ketika orang tuaku belum punya rumah sendiri. Ketika masih balita, aku membuntuti ibukku yang pergi ke samping rumah joglo untuk memetik sayuran. Kami harus melewati parit kecil yang jernih airnya. Aku ikut-ikutan ibukku memetik daun-daunan. Kata ibukku, "Bukan yang seperti itu. Petik yang muda!". Aku tidak mengerti dan asal memetik saja. Kemudian ibukku menunjukkan contohnya, "Yang seperti ini lho", memperlihatkan pucuk sayuran.

Iya, sepertinya baru kemarin.

Ibukku adalah orang yang multi talenta. Dia bisa menyanyi, membaca not, menari, menjahit, memotong rambut, make up, dan masih banyak lagi. Kenangan balita lain adalah tentang rekaman menyanyi. Ibukku mengajariku menyanyi Ibu Kita Kartini dan merekamnya pada pita kaset. Aku suka rekaman itu dan terus memutarnya. Kaset itu memperdengarkan ibukku mengajariku nyanyi. Ada suaraku yang tertatih dan dibetulkan oleh ibuk.

Masih balita, aku sering ikut bapak atau ibukku ke sekolah tempat mereka mengajar. Aku lebih suka ikut ibuk sih, karena sekolahnya berada di kota. Saat jam istirahat aku suka diajak ke semacam mini market. Toko tersebut dimiliki oleh pengusaha multi field. Usahanya berbagai bidang, mulai dari kayu gelondongan, jual beli hasil bumi, dan mini market. Mini marketnya berada jauh di dalam ruangan gudang yg berisi karung-karung beras dan agak gelap. Namun demikian, setelah sampai di mini market, suasananya berubah jadi terang benderang dan menyenangkan, banyak jajanannya. Aku paling suka Roti Milkis. Aku selalu notice sensasi perubahan memasuki gerbang gudang yang gelap dan agak seram, ada banyak karung bertumpuk, kemudian sampai di pintu mini market yang menyenangkan, terang benderang, wangi, dan banyak makanan.

Suatu hari kami pergi ke tempat itu untuk berbelanja. Aku masih ingat ibukku memakai seragam warna biru. Aku dituntun oleh ibuk memasuki gudang. Gelap. Aku merasa selama ada ibuk, semua pasti beres dan aman. Namun demikian, hari itu kami mengalami kejadian yg tidak pernah kami alami sebelumnya. Di pojok-pojok gudang gelap itu ternyata ada anjing-anjing yang sedang duduk. Menyadari kehadiran kami, anjing-anjing tersebut bangun, menggonggong dan mendatangi kami. Aku menjerit ketakutan. Kurasa ibukku juga takut, tapi dia kemudian memelukku dan berusaha menghalau anjing-anjing tersebut. Dalam pelukan ibukku terus menangis membayangkan anjing-anjing tersebut tetap mengerumuni kami. Aku masih mendengar gonggongan mereka. Ibukku terus menghalau mereka. Suara gonggongan masih terdengar, hingga ada ibu-ibu pekerja gudang tersebut muncul dari luar dan menghalau anjing-anjingnya. Mereka patuh pada ibu tersebut dan pergi dari kami. Ibu itu mengatakan bahwa anjing-anjing itu baru dipelihara oleh yg punya gudang. Setelah berterimakasih, kami pergi ke mini market. Sebelum pulang, pemilik mini market memastikan bahwa anjingnya sudah diamankan, jadi kami tidak perlu takut melewati gudang.

Saat itu aku merasa ketakutan, tapi aku berpikir bahwa ibukku melindungiku dari apapun yang terjadi di dunia ini. Dalam pelukannya, aku merasa aman, tapi juga khawatir bagaimana kalau anjing-anjing itu tetap menyerang kami, bagaimana dengan ibukku. Tuhan, terimakasih telah memberikanku ibuk yang selalu melindungiku, tetap menyayangiku apapun yang terjadi.

Ada yang lucu. Waktu itu kami pergi ke pusat perbelanjaan. Selain belanja barang kebutuhan, orang tuaku membelikan aku kotak nasi anak-anak, baju, dan makanan ringan. Mungkin uang mereka sudah cukup banyak dibelanjakan. Keluar dari toko, aku melihat kursi plastik bentuk Donal Bebek dipajang di teras toko tersebut. Aku minta dibelikan kursi itu. Ibukku bilang, "Udah banyak beli barang-barang gitu lho tadi". Aku tetap minta dibelikan kursi itu sambil merengek. Mereka tetap tidak mau membelikan. Aku masih terus meminta. Mereka mengancam mau meninggalkanku untuk pulang kalau aku masih terus merengek. Aku melepaskan tanganku dari ibukku dan memeluk kursi itu sambil minta dibelikan. Ibukku bilang, "Ayo pulang". Aku tetap stay. Akhirnya mereka berdua pergi ke parkiran. Sebenarnya aku panik, tapi tetap bengong memperhatikan mereka sambil memeluk kursi Donal Bebek. Mereka sudah naik motor di depan teras. Aku bingung juga, masa aku benar-benar ditinggal sih? Tapi aku tetap ndeprok dan memeluk kursi. "Ayo, ikut pulang gak?" kata ibukku. Aku tetap bertahan di teras toko. Dalam hati aku takut juga sih kalau benar-benar ditinggal. Akhirnya ibukku turun dari motor juga dan membelikanku kursi Donal Bebek itu, padahal mungkin uang mereka mau dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih penting. Haha. Kursi dan rantang makan anak-anak itu sampai sekarang masih ada lho. Rantangnya cuma mangkrak di rak piring, kalau kursinya masih tiap hari dipakai. Mungkin barang dulu awet-awet karena dibuat dengan bahan yang lebih baik.

Tiap kali menjalani psikotest yg ada gambar pohonnya, aku selalu menggambar pohon yang akarnya besar dan kuat, gak sengaja selalu begitu. Kenapa ya? Apakah itu mencerminkan bahwa hati dan pikiran kita kuat mencengkeram latar belakang kita, keluarga besar, dan masa kecil kita? Aku mencintai keluargaku. Sangat.

Malang, 12 November 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar